Songket menjadi salah satu wastra atau kain khas Indonesia yang sudah ada sejak lama. Wajar saja, banyak orang yang masih menggeluti usaha yang diturunkan dari generasi sebelumnya.
Sama halnya dengan Ratna (62) yang sudah belajar untuk menenun songket ketika umurnya menginjak 15 tahun. Belajar dari neneknya yang sudah menggeluti kerajinan ini sejak tahun 1950, membuat Ratna ingin melestarikan songket khas Batu Bara (Melayu).
"Dulu saya tinggal dengan nenek dan uwa, pulang sekolah menenun, dan saya dalami dari A sampai Z saya pelajari semua. Motivasinya ya karena senang saja dulu," ujar Ratna kepada detikcom beberapa waktu yang lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gayung bersambut, di tahun 1990, Ratna mulai merintis usaha tenunnya dengan 5 orang penenun yang terletak di Desa Padang Genting, Kecamatan Tawali, Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara.
Dengan kegigihannya dalam mengajak ibu-ibu pada tahun 2005, ia sukses menambah jumlah penenun yang bekerja dengannya menjadi 70 orang. Hingga kini, dirinya tetap memproduksi songket-songket yang cantik.
"Sekarang itu saya punya 40 mesin, banyak ibu rumah tangga juga yang ikut kerja di sini," tutur Ratna.
Cakupan pasar hasil produksi UMKM yang dimiliki Ratna juga bisa dikatakan sudah cukup luas. Bahkan, songketnya pernah dikirimkan ke negara tetangga yaitu Malaysia dari tahun 2008 - 2019. Tak tanggung-tanggung, sebanyak 20 kodi atau 400 lembar songket sudah ia kirimkan ke sana.
"Skala produksi ke Malaysia bisa sampai 20 kodi setiap bulan 9, berarti ada 400 potong. Pernah juga ke Brunei, tapi itu kita melalui pihak dari Pekanbaru. Kalau untuk local saja kita ya tergantung permintaan," ucap Ratna.
![]() |
Untuk harga dari Songket yang diproduksi oleh Ratna cukup bervariasi mulai dari Rp 400.000 hingga yang paling mahal pernah mencapai Rp 4.000.000. Menurut Ratna, harga tersebut tergantung tingkat kesulitan dan juga bahan yang dipakai.
Adapun songket merupakan kain khas Melayu yang umumnya ditemukan di Indonesia, Brunei, hingga Malaysia. Di Indonesia, songket memiliki corak dan motif yang beragam dan setiap daerah memiliki ciri khasnya masing-masing.
Untuk songket yang berada di Batu Bara, motifnya lebih condong bernuansa tumbuh-tumbuhan seperti pucuk rebung, bunga ros, cempaka, semut beriring. Untuk di Batu Bara motif yang paling banyak adalah pucuk rebung, pucuk betikam, pucuk caul, pucuk pandan.
"Dari segi harga ada perbedaannya mulai dari Rp 400.000 - Rp 4.000.000 tergantung bahan pembuatnya karena kan ada dari emas, kristal, sutera, polyester," jelasnya.
![]() |
Di sisi lain, selama masa pandemi, usaha milik Ratna cukup terdampak. Permintaan dari Malaysia juga terhenti sementara. Namun, hal itu tidak membuat Ratna hilang akal. Ia pun memanfaatkan penjualan secara online yang ia jual di e-Commerce.
"Selama pandemic ini memang berkurang, ke Malaysia dan Brunei tapi 2 tahun terakhir sudah tidak, kalau di dalam negeri bisa sampai ke Pekanbaru, Aceh, Jakarta. Kita juga sekarang jualan via Whatsapp, Facebook dan lain-lain," katanya.
Tetapi Ratna tidak sendirian, sebab usahanya dibantu oleh PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) yang menjadikannya mitra binaan di tahun 2017. Inalum memberikan pinjaman modal usaha dan juga pelatihan marketing, untuk memajukan usaha dari Ratna.
"Keuntungan setelah bergabung dengan mitra inalum ya lumayan sekali meningkat sampai 50% pendapatannya. Inalum juga membimbing kami untuk dapat menjual songket ini secara online," pungkasnya.
![]() |
Sebagai informasi, detikcom bersama MIND ID mengadakan program Jelajah Tambang berisi ekspedisi ke daerah pertambangan Indonesia. detikcom menyambangi kota-kota industri tambang di Indonesia untuk memotret secara lengkap bagaimana kehidupan masyarakat dan daerah penghasil mineral serta bagaimana pengolahannya.
Untuk mengetahui informasi lebih lengkap, ikuti terus beritanya di detik.com/jelajahtambang.
(ega/ara)