Lebanon Krisis karena Utang Meroket dan Korupsi, RI Perlu Waspada?

Lebanon Krisis karena Utang Meroket dan Korupsi, RI Perlu Waspada?

Siti Fatimah - detikFinance
Sabtu, 10 Jul 2021 18:00 WIB
Krisis ekonomi yang parah membuat Lebanon disebut bagai neraka oleh warganya sendiri. Hiperinflasi dan kelangkaan bahan pokok membuat situasi tak tertahankan.
Ilustrasi/Foto: Getty Images/Spencer Platt
Jakarta -

Lebanon tengah berjuang untuk tetap 'hidup' di tengah kondisi krisis ekonomi negaranya. Saking parahnya, situasi krisis ekonomi di Lebanon disebut bagai 'neraka' oleh warganya sendiri.

Faktor utama krisis ekonomi yang terjadi di Lebanon disebabkan karena situasi politik dan perang sipil serta penumpukan utang. Lalu, apakah Indonesia perlu mewaspadai akan mengalami kejadian serupa?

Menanggapi hal tersebut, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan, kondisi antara Indonesia dengan Lebanon sangat jauh berbeda. Menurutnya, kondisi fiskal saat ini masih tergolong aman.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Terlalu jauh untuk kita mengkhawatirkan krisis seperti di Lebanon, kondisi kita sangat jauh berbeda. Kita memang ada masalah dengan korupsi tapi tidak seburuk itu. Kondisi fiskal kita masih sangat aman," kata Piter saat dihubungi detikcom, Sabtu (10/7/2021).

Perihal utang, Piter setuju bahwa Indonesia mengalami lonjakan utang di tengah pandemi. Namun, menurutnya masih di batas aman sehingga RI tidak perlu khawatir akan bernasib sama dengan Lebanon.

ADVERTISEMENT

"Kita tidak usah khawatir. Krisis seperti di Lebanon tidak akan terjadi di Indonesia. Utang kita itu masih dalam batas aman, masih di bawah 60% PDB," jelasnya.

Saat dikaitkan dengan kekhawatiran BPK akan utang RI yang sangat tinggi, Piter menjelaskan, selama pemerintah mendapat kepercayaan dari luar negeri, dan aliran modal tetap masuk maka ke depan tidak akan mengalami kendala dalam membayar utang negara.

"Tetapi tidak perlu jadi kekhawatiran kalau kita akan krisis, persoalan utang tidak bisa diselesaikan dalam jangka pendek. Perlu perencanaan fiskal yang kuat didukung dengan kebijakan moneter," jelasnya.

Selain itu, diperlukan strategi pembangunan industri berkesinambungan agar persoalan utang luar negeri bisa diselesaikan dalam jangka panjang. "Saran Saya ke pemerintah, fokus saja ke masalah pandemi, tidak perlu disibukkan dengan krisis Lebanon," tandasnya.

Sementara itu, Director Political Economy & Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan mengatakan, utang luar negeri mempunyai risiko gagal bayar. Menurutnya, pemerintah harus mempunyai cukup devisa (dolar) untuk bayar bunga dan utang luar negeri.

"Artinya neraca transaksi berjalan harus surplus. Kalau defisit, maka utang luar negeri harus bertambah besar karena defisit tersebut harus dibiayai lagi dari utang. Jadi, bayar utang tergantung apakah investor asing mau memberi utang. Kalau terhenti, maka akan memicu krisis valuta dan krisis ekonomi," jelas Anthony saat dihubungi secara terpisah.

Lebih lanjut, dia mengatakan neraca transaksi Indonesia masih berjalan defisit sejak 2012. "Jadi ada ketergantungan dari investor asing, dan ada potensi gagal bayar kalau asing stop membeli surat utang negara," pungkasnya.

Sebagai informasi, sebelum pandemi virus Corona (COVID-19) pada awal tahun 2020, Lebanon sudah menunjuk tanda-tanda menuju kehancuran. Pada awal Oktober 2019, negara tersebut kekurangan mata uang asing sehingga membuat nilai mata uang pound Lebanon melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Elit penguasa pun menjadi sasaran kemarahan publik karena telah mendominasi politik selama bertahun-tahun, dan mengumpulkan kekayaan mereka sendiri sementara gagal melakukan reformasi besar-besaran yang diperlukan untuk memecahkan masalah negara.

Akhir tahun 2019 juga terungkap bahwa negara tersebut melakukan praktik yang disebut para analis skema piramida atau skema Ponzi, di mana bank sentral berutang kepada bank-bank komersial dengan tingkat bunga di atas rata-rata pasar. Utang tersebut untuk membayar utang lainnya dan mempertahankan Lebanon.

Bank sentral Lebanon telah mensubsidi bahan bakar, obat-obatan, dan bahan makanan melalui nilai tukar preferensial, tetapi dengan cepat kehabisan dana karena tidak adanya pemerintahan yang menstabilkan ekonomi. Hasilnya adalah kelangkaan parah tidak hanya bahan bakar untuk listrik tetapi juga obat-obatan yang banyak digunakan mulai dari antibiotik hingga perawatan jantung dan kanker, serta bensin.


Hide Ads