Indonesia sebagai negara maritim dianugerahi sumber daya alam kelautan yang luar biasa kaya dari Sang Pencipta.
Mulai dari macam-macam jenis ikan, karang, hingga lamun. Perpaduan ini disebut sebagai ekosistem kelautan. Kontribusinya sangat besar bagi kelangsungan hidup manusia, baik sebagai sumber pangan, jalur transportasi, pemicu pertumbuhan ekonomi, kesehatan, sampai kaitannya dengan sosial dan budaya. Untuk itu, menjaga laut tetap sehat adalah keniscayaan.
Apalagi, dua per tiga wilayah Indonesia merupakan lautan dengan luas mencapai 6,4 juta kilometer persegi.
Luas kawasan terumbu karang Indonesia diperkirakan mencapai 25.000 kilometer persegi (COREMAP-CTI LIPI, 2016) atau sekitar 10 persen dari total terumbu karang secara global. Indonesia termasuk dalam kawasan segitiga terumbu karang atau Amazon of The Seas yang menjadi pusat keanekaragaman hayati dunia.
Terdapat sedikitnya 4.720 spesies ikan laut maupun tawar yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah spesies ikan terbesar di dunia. Di antaranya jenis ikan dengan nilai ekonomi tinggi dan ikan-ikan langka, yang membuat perairan Indonesia begitu istimewa. Dari sisi ekonomi, nilai produksi perikanan pada tahun 2020 mencapai Rp380,61 triliun.
Anugerah besar ini patut kita syukuri. Namun di sisi lain, banyak ancaman di depan mata yang berpotensi mendegradasi keistimewaan yang dimiliki NKRI.
Sebut saja kegiatan over fishing, illegal dan destructive fishing yang pelakunya bukan hanya kapal-kapal penangkapan ikan berbendera asing, tapi juga kapal-kapal penangkap ikan yang dimiliki oleh masyarakat.
Kemudian rusaknya terumbu karang dan hutan mangrove akibat beragam aktivitas manusia yang tujuannya diklaim sebagai upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi di pesisir, hingga pencemaran laut imbas sampah dan limbah yang akhirnya 'mencekik leher' biota di dalamnya.
Ironinya, eksploitasi ini masih saja menjadikan wilayah pesisir termasuk dalam kawasan kantong kemiskinan yang mendominasi.
Ironis, tapi itulah realitanya. Dan ini menjadi tantangan bagi saya sebagai nakhoda dan seluruh awak kapal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), yang mendapat mandat menjadikan laut sebagai masa depan bangsa dan poros maritim dunia seperti yang disampaikan Presiden Joko Widodo.
Penangkapan Terukur
KKP membagi kawasan pengelolaan perikanan dalam zona yang disebut sebagai Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI), yang di dalamnya terdapat perairan laut dan perairan daratan.
Dalam PermenKP 18 tahun 2021 disebutkan WPPNRI berarti wilayah pengelolaan perikanan untuk penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan yang meliputi perairan Indonesia, zona ekonomi eksklusif Indonesia, sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang potensial untuk diusahakan di wilayah Negara Republik Indonesia.
Di perairan laut terdapat 11 WPPNRI yang dibagi lagi menjadi dua kategori, yaitu perairan dangkal dengan kedalaman paling dalam 200 meter. Areanya meliputi WPPNRI 571 yang mencakup perairan Selat Malaka dan Laut Andaman. Kemudian WPPNRI 711 (perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan), WPPNRI 712 (perairan Laut Jawa); WPPNRI 713 (perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali), serta WPPNRI 718 (perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor Bagian Timur).
Lalu ketegori kedua adalah perairan laut dalam dengan kedalaman di atas 200 meter. Terdiri dari WPPNRI 572 (perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda), WPPNRI 573 (perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor Bagian Barat), WPPNRI 714 (perairan Teluk Tolo dan Laut Banda), WPPNRI 715 (perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau), WPPNRI 716 (perairan Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera), dan WPPNRI 717 (perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik).
Semetara di perairan daratan terdiri dari 14 kawasan yang mencakup WPPNRI PD 411, 412, 413, 421, 422, 431, 432, 433, 434, 435, 436, 437, 438, dan 439. Areanya meliputi sungai, danau, waduk, rawa, dan/atau genangan air lainnya yang ada di berbagai daerah di Indonesia.
Dalam mengelola semua WPP baik yang ada di perairan laut dan daratan, KKP tengah merancang konsep "Penangkapan Terukur" untuk Indonesia Makmur sesuai prinsip ekonomi biru. Seperti yang sering saya kemukakan bahwa keseimbangan antara ekologi dan ekonomi sangat penting untuk menjaga semua aktivitas di dalamnya berjalan berkesinambungan.
Penangkapan terukur berarti semua kegiatan perikanan yang dilakukan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia, harus terukur secara saintifik potensi maupun hasilnya, yang tujuannya untuk menjaga kesehatan perairan, serta memicu pertumbuhan ekonomi dan menciptakan turunan ekonomi baru.
Metode penangkapan terukur ini harapan saya menjadi cetak biru pengelolaan sektor kelautan dan perikanan dalam kurun waktu panjang hingga 25 tahun ke depan. Untuk membuatnya, saya dibantu tim Unit Kerja Menteri (UKM) yang beranggotakan 25 ahli berbagai disiplin ilmu, yang selama ini bertugas di Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Tentu kami tak bisa bekerja sendiri. Dalam mengukur potensi sumber daya perikanan khususnya yang ada di perairan laut, KKP menggandeng Komnas Kajiskan agar estimasi potensi yang muncul benar-benar teruji secara ilmiah. Dengan demikian kebijakan yang dihasilkan sesuai kebutuhan sehingga manfaatnya signifikan untuk negara, masyarakat, dan kelestarian lingkungan.
Kemudian kami melakukan penguatan di bidang teknologi, salah satunya akan menghidupkan kembali sistem informasi yang sempat mangkrak dan mengintegrasikan sistem-sistem dalam satu monitoring system, agar penyajian data menjadi lebih cepat dan akurat.
Lanjut ke halaman berikutnya
Melalui skema penangkapan terukur ini, jumlah kapal dan alat tangkap yang dipakai nelayan nantinya diatur sesuai dengan potensi dan karakteristik tempat penangkapan supaya tidak terjadi overfishing.
Akan ada juga wilayah pengelolaan perikanan yang dikhususkan sebagai nursery ground sehingga kegiatan penangkapan di area itu harus dibatasi. Ini masih dalam tahap kajian sebab ada sisi sosial yang harus kami pertimbangkan sebelum memutus kebijakan.
Lalu apa wujud kehadiran negara selain membuat kebijakan? Tentu kami akan menyiapkan infrastruktur, seperti pelabuhan lengkap dengan fasilitasnya, serta menghidupkan ekosistem industri perikanan.
Pembangunan ini akan difokuskan di wilayah timur Indonesia, sejalan dengan program Lumbung Ikan Nasional di Maluku. Jadi ke depan, tidak ada lagi hasil tangkapan dari perairan Timur Indonesia yang dibawa ke Pulau Jawa dan Bali, melainkan harus didaratkan di pelabuhan yang ada di sana sesuai ketentuan pemerintah. Tujuannya jelas untuk pemerataan pertumbuhan ekonomi.
Mudah-mudahan dalam kurun waktu dua-tiga tahun ke depan, kita sudah melihat satelit-satelit industri perikanan tangkap yang bersih dan ramah lingkungan. Di mana ada unsur konservasi di dalamnya, ada unsur pembatasan jumlah kapal yang boleh menangkap, lalu ada peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat pesisir baik yang menjadi nelayan maupun anak buah kapal.
Ditambah lagi para ABK dan nelayan ini sudah menjadi peserta jaminan sosial yang merupakan hasil dari salah satu program prioritas KKP 2021-2024, yakni peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sumber daya perikanan tangkap untuk kesejahteraan nelayan.
Menjaga laut kesehatan laut tidak bisa dilakukan sendiri oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Butuh sinergi dengan berbagai elemen, baik itu masyarakat secara individu, organisasi, pemerintah daerah, kementerian/lembaga pemerintah di dalam dan luar negeri.
Untuk pengawasan laut dari praktik Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing misalnya, kami bersinergi dengan TNI AL, Bakamla, Polairud, disamping memperkuat tim dan armada patroli yang ada di internal KKP di bawah kendali Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP).
Begitu juga dalam urusan mengatasi masalah sampah plastik dan limbah di laut, reboisasi hutan mangrove, hingga menghadirkan aktivitas wisata bahari yang ramah lingkungan.
Waktu 24 jam dalam satu hari untuk memikirkan sektor kelautan dan perikanan rasanya tidak cukup.
Namun percayalah, bila semua yang kita lakukan niatnya untuk kemaslahatan bangsa, negara serta kelestarian alam itu sendiri, semangat akan terus tumbuh dan yakin Tuhan akan menolong.
Menteri Kelautan dan Perikanan RI
Sakti Wahyu Trenggono