Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi kuartal II-2021 sebesar 7,07%. Namun capaian tersebut dinilai semu. Dikatakan semu karena terjadi efek low base (basis rendah) dari pertumbuhan ekonomi kuartal II tahun lalu yang minus 5,32%.
"Kalau dikatakan apakah ini akhir dari resesi atau pertumbuhan semu atau ada yang mengatakan ilusi, tentu saya mengatakan ini pertumbuhan yang semu," kata Peneliti Center of Industry, Trade, and Investement INDEF, Andry Satrio Nugroho dalam diskusi publik secara virtual, Jumat (5/8/2021).
Di sisi lain belum semua sektor perekonomian bergerak. Di lapangan, masih banyak usaha seperti restoran dan sektor akomodasi yang masih tutup atau beroperasi dengan kapasitas terbatas.
Sementara itu, varian delta masih menjadi ancaman yang membawa ekonomi kembali terpuruk. Kalau tidak ditanggulangi, kata dia, maka industri akan kewalahan dan menyebabkan semakin banyak pengangguran.
"Tidak hanya industri secara sektoral, kuncinya ada di akhir Agustus dan awal September. Karena efek pelambatan ekonomi ini bisa jadi melebihi PSBB di tahun 2020. Ini jadi penentu Indonesia bisa bertahan dari pandemi. Bantalan terhadap industri perlu dijaga," katanya.
Senada dengan itu, Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad menambahkan, Indonesia jangan terlalu berbangga dengan pertumbuhan ekonomi yang disebabkan low base effect. Bahkan, kata dia, di negara lain efek low base bisa meningkat lebih tinggi misalnya seperti China dari minus 6,8% menjadi positif 18,3% atau Amerika Serikat dari minus 9% menjadi 12%.
"Kita lihat berbagai upaya negara lain untuk bisa memperbaiki ekonomi itu ternyata bisa juga menghasilkan pertumbuhan yang cukup tinggi pada saat momentum kuartal yang sama. Jadi kita tidak perlu berbangga ketika memang fenomena low base itu terjadi karena memang hal ini biasa cuman perbedaannya berapa besar persentase dari low base effect sebagai sumbangan pertumbuhan ekonomi," kata Tauhid.
(hns/hns)