Pemerintah memiliki dua alternatif untuk kebijakan pajak karbon. Dari dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) tahun anggaran 2022 disebutkan pajak karbon adalah instrumen carbon pricing berbasis non pasar atau nilai ekonomi karbon/NEK.
Pajak karbon di Indonesia adalah pungutan atas karbon dan bisa berbentuk beragam baik perpajakan maupun non perpajakan. Alternatif penerapannya antara lain menggunakan instrumen yang telah ada saat ini seperti Cukai, PPh, PPN, PPnBM atau PNBP. Selanjutnya di tingkat daerah seperti Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
"Kedua dengan memunculkan instrumen baru, yaitu pajak karbon, namun perlu didukung dengan revisi Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP)," dikutip dari dokumen KEM PPKF, dikutip Jumat (13/8/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Objek pajak karbon ini dapat dikenakan atas emisi yang dihasilkan oleh aktivitas ekonomi atau dikenakan atas objek sumber emisi. Di banyak negara, pajak karbon dikenakan pada bahan bakar fosil dengan melihat potensi emisi yang dapat ditimbulkan oleh penggunanya, contoh negara yang sudah menerapkan adalah Jepang, Singapura, Prancis, dan Chile.
"Tarif yang dikenakan berkisar US$ 3 hingga US$ 49 per ton CO2e. Sektor yang dikenakan mulai dari industri, pembangkit, transportasi dan bangunan," tambahnya.
Objek potensial di Indonesia adalah bahan bakar fosil dan emisi yang dikeluarkan oleh pabrik ataupun kendaraan bermotor. Dengan penggunaan yang dominan, maka bahan bakar yang dapat dikenakan diutamakan yang memiliki kandungan karbon tinggi seperti batubara, solar dan bensin.
"Untuk pengenaan emisi atas kegiatan ekonomi, pemerintah dapat fokus pada sektor karbon padat seperti industri pulp and paper, industri semen, pembangkit listrik dan petrokimia," tulisnya.
Pengenaan pajak karbon ini bermanfaat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari sumber emisi dan pendapatan negara yang dapat digunakan untuk dana pembangunan, investasi ramah lingkungan, dan dukungan peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin dan rentan.
Penerapan pajak karbon juga dapat menimbulkan biaya pada sejumlah pihak. Karena itu penerapannya butuh pertimbangan pada sisi permintaan yang lebih preferable dibandingkan dengan pendekatan dari sisi penawaran. Kebijakan penyerta berupa penguatan daya beli masyarakat juga dapat mengurangi resistensi dan dampak yang tidak diharapkan.
(kil/ara)