RI Bisa Contoh UEA-India Buat Garap Proyek PLTS

RI Bisa Contoh UEA-India Buat Garap Proyek PLTS

Achmad Dwi Afriyadi - detikFinance
Minggu, 22 Agu 2021 13:30 WIB
Salah satu kampus di Lampung ini menggunakan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) terbesar atas kerjasama Wijaya Karya dan SUN Energy sebesar 1 Megawatt-peak (MWp) untuk kebutuhan universitas.
Foto: dok. ITERA
Jakarta -

Pemerintah tengah menggenjot pembangkit ramah lingkungan, salah satunya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Pengadaan PLTS besar perlu dilakukan agar target penurunan emisi dan harga jual listrik yang lebih murah tercapai.

Sejak 2013, pengadaan PLTS skala besar di Indonesia, dilakukan dengan sistem pelelangan (tender). Hanya saja, cara ini belum cukup efektif menurunkan harga beli listrik dari PLTS.

Studi terbaru Institute for Essential Services Reform (IESR) berjudul 'Hitting Record-Low Solar Electricity Prices in Indonesia' menemukan bahwa salah satu penyebab kurang efektifnya sistem lelang PLTS skala besar di Indonesia adalah belum adanya perencanaan di sistem ketenagalistrikan untuk memanfaatkan energi surya skala besar dalam gigawatt.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal ini mempengaruhi volume dan jumlah proyek PLTS yang hendak dilelangkan. Selain itu, praktik pengadaan belum cukup transparan sehingga menyulitkan calon penawar untuk ikut serta dalam proses pelelangan.

Selama ini, lelang tenaga surya di Indonesia masih untuk kapasitas yang berukuran kecil, tersebar, jarang, dan biasanya dilakukan dalam lelang putus/individual sehingga memberikan sinyal buruk bagi investor atau lembaga keuangan untuk menyediakan modal yang dibutuhkan untuk proyek tersebut.

ADVERTISEMENT

Tidak hanya itu, kebijakan dan regulasi pendukung di Indonesia terhadap pembangunan PLTS skala besar, terutama dalam proses pelelangan, masih kurang menarik atau bahkan menghambat pengembangan instalasi surya.

"Pelelangan PLTS skala besar di Indonesia sangat terpaku pada ketentuan tata cara pelelangan barang dan jasa yang berlaku juga untuk PLN, yaitu tender umum, tender terbatas, penunjukan langsung dan pengadaan langsung, dengan berbagai ketentuan tambahan misalnya syarat TKDN. Metode pelelangan ini kurang cocok untuk mendapatkan harga yang sangat kompetitif untuk pengembangan PLTS skala besar," kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa dalam keterangannya, Minggu (22/8/2021).

Maka itu, dia mengatakan, perlu dipikirkan perubahan cara lelang untuk PLTS. Sehingga, bisa mendapat harga yang kompetitif dan bankable.

Menurutnya, pemerintah Indonesia perlu belajar pada keberhasilan sejumlah negara yang menerapkan tata cara pelelangan untuk PLTS skala besar, di antaranya India, Brasil, dan Uni Emirat Arab (UEA). Ketiga negara ini mampu mencatatkan beberapa harga pemecah rekor yang ditawarkan oleh penawar lelang. Persamaan dari ketiga negara tersebut adalah adanya target yang terintegrasi dalam perencanaan sistem ketenagalistrikan dan pelelangan yang dilakukan secara terjadwal.

"Hal yang paling penting untuk mendorong perkembangan PLTS skala besar adalah perencanaan sistem ketenagalistrikan yang memprioritaskan PLTS dalam rencana penambahan kapasitas pembangkit, yang kemudian disertai dengan agregasi permintaan (kapasitas yang akan ditawarkan) untuk kemudian dilelangkan secara terjadwal dan terencana dalam jangka menengah (3-5 tahun, misalnya) dan tidak sporadis," kata Daniel Kurniawan, Penulis Laporan 'Hitting Record-Low Solar Electricity Prices in Indonesia'.

"Skala keekonomian proyek juga menjadi kunci dalam penurunan harga penawaran suatu lelang PLTS IPP," tambahnya.

Adanya standar lelang yang transparan, diikuti dengan jadwal pelelangan yang konsisten terbukti membantu menarik jumlah penawaran. Ketiga negara juga menyediakan akses informasi proses pelelangan untuk umum.

Komitmen kuat ketiga negara tersebut dalam mendukung pengembangan tenaga surya ditunjukkan dengan mendirikan lembaga baru atau meningkatkan kapasitas lembaga yang sudah ada yang bertugas melakukan seluruh proses pengadaan.

Pemerintah ketiga negara juga berperan penting dalam pengurangan risiko proyek dan biaya transaksi untuk mendorong penawaran menjadi semakin kompetitif. Ditinjau dari sisi regulasi pendukung, mereka juga memuat persyaratan seperti memasukkan kearifan lokal sehingga selain dapat mendorong pengembangan solar skala besar, juga melindungi industri lokal.

(acd/zlf)

Hide Ads