Eks Dirjen Pajak Beberkan Strategi Genjot Penerimaan, Seperti Apa?

Eks Dirjen Pajak Beberkan Strategi Genjot Penerimaan, Seperti Apa?

Trio Hamdani - detikFinance
Selasa, 31 Agu 2021 16:21 WIB
Petugas Cash Center BNI menyusun tumpukan uang rupiah untuk didistribusikan ke berbagai bank di seluruh Indonesia dalam memenuhi kebutuhan uang tunai jelang Natal dan Tahun Baru. Kepala Kantor perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Papua mengungkapkan jumlah transaksi penarikan uang tunai sudah mulai meningkat dibanding bulan sebelumnya yang bisa mencapai penarikan sekitar Rp1 triliun. Sedangkan untuk Natal dan tahun baru ini secara khusus mereka menyiapkan Rp3 triliun walaupun sempat diprediksi kebutuhannya menyentuh sekitar Rp3,5 triliun. (FOTO: Rachman Haryanto/detikcom)
Foto: Rachman Haryanto
Jakarta -

Direktur Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan periode 2001-2006 Hadi Poernomo mencatat tax ratio atau rasio pajak dalam 5 tahun terakhir terus turun. Sejak 2016 hingga 2020, angkanya 10,37 persen, 9,89 persen, 10,24%, 9,76%, dan 8,33%.

"Ironisnya, hal tersebut bertolak belakang dengan prestasi penerimaan perpajakan selepas terjadinya krisis moneter yang meluluhlantakkan perekonomian Indonesia pada tahun 1998," katanya, Selasa (31/8/2021).

Hadi menjelaskan bahwa saat itu penerimaan perpajakan terus mengalami mengalami peningkatan. Tercatat tax ratio pada tahun 2005 mencapai 12,6 persen. Padahal, dampak krisis moneter yang berimbas pada multi dimensi menyisakan perekonomian yang morat-marit. Proses recovery berlangsung lama.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hingga tahun 2001, tambah Hadi, negara masih tertatih-tatih bangkit dari keterpurukan. Pencapaian tersebut tidak didapat seperti membalikkan telapak tangan.

Kemudian, pemerintah menjalankan program integrasi data dalam sebuah single identity number (SIN) pajak melalui nota kesepahaman (MoU) ke berbagai instansi baik instansi pemerintah maupun swasta sebagai bagian dari reformasi perpajakan.

ADVERTISEMENT

"Langkah tersebut kemudian dinilai berhasil oleh pemerintah yang diwakili Menteri Keuangan melalui pernyataan bahwa 'Potensi kehilangan penerimaan perpajakan dapat dikompensasi melalui dampak positif dari berbagai langkah administrasi perpajakan yang telah dilakukan secara konsisten sejak tahun 2001'," jelasnya.

SIN dianggap juga bisa menjadi jawaban atas penghindaran atau manipulasi pajak. Dengan sistem pungutan self assessment, hal-hal tersebut sangat mungkin terjadi. Itulah SIN Pajak bisa menjadi jawaban.

Hadi menuturkan teknologi ini merupakan penyatuan data secara online dan terintegrasi seluruh data baik keuangan maupun nonkeuangan yang digunakan sebagai data pembanding atas laporan perpajakan dari wajib pajak.

Apa itu SIN? Klik halaman berikutnya.

SIN sendiri adalah sebuah sistem informasi yang terintegrasi dimana berisi data-data baik finansial maupun nonfinansial. Dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), konsep SIN sebagai manajemen informasi perpajakan dinyatakan sebagai kewajiban bagi setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, untuk memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak.

Dalam hal data dan informasi yang diberikan dianggap tidak mencukupi, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang menghimpun data dan informasi untuk kepentingan penerimaan negara yang diatur dengan peraturan pemerintah.

Data tersebut merupakan data yang sifatnya interkoneksi secara online, sehingga tidak ada campur tangan manusia dalam pengambilan data dengan melalui mekanisme pengujian link and match. SIN Pajak telah datur dalam UU 28/2007. Namun, masih terdapat kendala dalam pemberlakuannya. Utamanya adalah masalah aturan pelaksanaannya yang masih belum selaras.

"Untuk melaksanakan UU tersebut, hanya butuh political will yang kuat dari para pembuat kebijakan, karena penyelesaiannya tidak membutuhkan waktu dan pengorbanan yang banyak," jelas Hadi.


Hide Ads