Siklus pembahasan APBN TA 2022 sudah dimulai dan seperti pada tahun anggaran sebelumnya, Kementerian Pertahanan (Kemenhan) kembali menganggarkan anggaran yang fantastis dengan nilai hingga Rp 133,9 triliun.
Dengan anggaran yang besar tentunya berbanding lurus dengan tingginya ekspektasi, target, dan capaian dari Kementerian Pertahanan untuk menciptakan rasa aman bagi seluruh rakyat Indonesia dan ketahanan negara dari segala potensi ancaman baik dari luar negeri maupun dalam negeri.
Anggota Komisi I DPR RI Dede Indra Permana mengatakan bahwa dalam membelanjakan anggaran, apalagi dalam aspek yang vital yaitu pertahanan mutlak harus direncanakan dengan matang perencanaan untuk jangka pendek, menengah, dan jangka panjang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Prioritas pembelanjaan harus sesuai dengan kondisi serta situasi dalam dan luar negeri, perkembangan teknologi, efisiensi, hingga yang terpenting sesuai kebutuhan.
"Kami melihat dari beberapa kunjungan kerja yang kami lakukan ke markas-markas militer, acap kali terjadi pengadaan atau dropping alutsista dari pusat yang tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Kebijakan pengadaan alutsista ke markas-markas militer maupun daerah yang menggunakan pendekatan Top Down Policy harus dilakukan perubahan yang radikal menjadi Bottom Up Policy, supaya pembelanjaan anggaran Kementerian Pertahanan menjadi tepat sasaran dan efektif," ujar Dede, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu (9/9/2021).
Politisi PDI Perjuangan itu melanjutkan, negara yang disegani salah satu faktornya memang dilihat dari kekuatan militernya. Jangan sampai tidak tepat dalam menghabiskan anggaran karena terobsesi untuk belanja alutsista besar-besaran, namun tidak memperhatikan kebutuhan user atau pengguna serta meremehkan pentingnya perawatan alutsista.
"Dilihat dari peringkat ASEAN berdasarkan jumlah alutsista sekilas terlihat cukup bagus, namun mengingat bahwa wilayah Indonesia yang terdiri atas puluhan ribu pulau dan wilayah teritorial laut seluas 3.100.000 Km2, jumlah alutsista yang Indonesia miliki sangat tidak memadai untuk dilakukan operasi pertahanan, apalagi dengan kondisi alutsista yang sudah banyak berumur tua," ucapnya.
Menurutnya, Minimum Essential Force (MEF) atau Kekuatan Pokok Minimum yang telah dicanangkan sejak 2007 dengan tujuan untuk pemutahiran alutsista dianggap masih belum dapat memenuhi capaian yang telah ditargetkan.
Selama ini pengadaan alutsista Indonesia terfokus pada aspek fisik alutsista konvensional seperti kavaleri berat, tank, ranpur, KRI dan kapal selam, serta pesawat tempur yang harga unitnya tinggi, perawatan mahal, dan membutuhkan banyak personil terlatih untuk mengoperasikan satu unitnya.
"Mengingat wilayah NKRI yang luas dan terdiri atas wilayah kepulauan serta medan geografis yang kebanyakan perbukitan, maka yang perlu diantisipasi adalah model perang hutan dimana alutsista berat kita menjadi kurang efektif dan efisien. Sebagai contoh ketika TNI melakukan operasi di Papua untuk mengatasi KKB, TNI tidak mengerahkan alutsista beratnya karena selain medan Papua yang berbukit-bukit sehingga tidak efektif bagi tank-tank TNI yang berbobot 60 ton lebih, proses pengiriman alutista dari markas-markas komando menuju medan pertempuran membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit," ungkapnya.
Bersambung ke halaman selanjutnya.