Perusahaan properti raksasa asal China Evergrande saat ini sedang menjadi perhatian dunia internasional. Perusahaan itu terlilit utang yang jumlahnya segunung dan terancam tak bisa bayar.
Evergrande harus membayar utang dan bunga bank senilai US$ 300 miliar atau setara Rp 4.280 triliun (kurs: Rp 14.274). Dikutip dari CNN disebutkan utang jatuh tempo pekan ini saja yang harus dibayar Evergrande sebesar US$ 84 miliar atau setara dengan Rp 1,19 triliun.
Kepala ekonom Berenberg Holger Schmieding mengungkapkan China sebenarnya memiliki strategi untuk menekan dampak akibat masalah Evergrande ini.
"Namun ada potensi masalah di masa depan karena tren pertumbuhan ekonomi yang melambat dan pemimpin di China semakin otoritas," kata dia dikutip dari CNN, Jumat (24/9/2021).
Memang banyak kalangan yang khawatir dengan laju pertumbuhan ekonomi China yang sebelumnya sempat menguat signifikan beberapa bulan terakhir. Sebuah survei menyatakan aktivitas manufaktur di China tercatat mengalami penurunan menjadi 50,1 periode Agustus lebih rendah dibandingkan periode bulan sebelumnya 50,4.
Baca juga: Tahukah Kamu? Evergrande Bikin Dunia Waswas |
Angka ini dinilai sebagai pertumbuhan yang paling lambat sejak awal pandemi terjadi. Kemudian penjualan ritel di China juga tercatat mengalami perlambatan. Bulan lalu saja, penjualan ritel cuma naik 2,5%.
Pemerintah China memang menyebut perlambatan ini terjadi akibat COVID-19 yang membatasi ruang gerak masyarakat. Selain itu, banyak orang yang juga melakukan penundaan belanja untuk musim panas.
Kemudian sektor properti di China untuk proyek perumahan baru tercatat mengalami penurunan hingga 3,2% selama delapan bulan pertama tahun ini.
Analis Deutsche Bank Lucia Kwong mengungkapkan pasar khawatir dampak Evergrande ini bisa memperburuk keadaan. "Para pengembang mungkin akan menghadapi tekanan likuiditas dan khawatir adanya potensi default Evergrande," jelasnya.
Dari data Bank of America pada periode Juni 2020, Evergrande masih memiliki 200 ribu unit rumah yang sudah terjual namun belum diserahkan kepada pembeli.
Padahal sektor properti China merupakan mesin pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja dan menyumbang sekitar 29% untuk pertumbuhan ekonomi negara tersebut.
Nah kondisi ini disebut bisa membuat ekonomi China melambat. Jika China melambat maka hal ini turut mempengaruhi ekonomi dunia.
Capital Economics mengungkapkan jika para ekonom memproyeksi tren pertumbuhan ekonomi akan melambat menjadi 2% pada 2030. Saat ini masih berada di kisaran 4%-5%. Negara yang bisa mengalami perlambatan antara lain Jepang, Korea Selatan dan seluruh negara di Asia. Hal ini juga akan berdampak pada negara Eropa yang mengekspor banyak barang ke China misalnya Jerman.
Kondisi kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS disebut juga akan mempengaruhi pertumbuhan. Memang, Bank Sentral AS The Federal Reserve saat ini sudah mengkomunikasikan rencana tersebut. Para investor juga sudah menyiapkan diri untuk kemungkinan kenaikan bunga acuan ini.
Simak juga Video: Elon Musk Mimpikan NASA-China Duet Proyek Luar Angkasa
(kil/zlf)