Jakarta -
Perhatian para investor kini tengah tertuju pada Evergrande, real estate China yang tengah jatuh sakit. Mereka menunggu apa yang akan terjadi pada utang perusahaan yang menggunung itu ketika dinyatakan gagal bayar.
Pihak berwenang China akhirnya menaruh perhatian besar terhadap permasalahan Evergrande. People's Bank of China menyatakan perusahaan telah salah mengelola bisnisnya tetapi risiko terhadap sistem keuangan dapat dikendalikan.
Namun di sisi lain, para analis lebih mengkhawatirkan permasalahan yang lebih mendalam yakni pasar properti China mendingin setelah bertahun-tahun kelebihan pasokan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebenarnya sebelum munculnya kasus Evergrande, tanda bahaya telah menyala dalam beberapa waktu. Sebelum polemik Evergrande muncul, puluhan juta apartemen tampak kosong yang tersebar di seluruh negeri. Bahkan kondisinya bertambah buruk.
Kepala Ekonom Asia di Capital Economics, Mark Williams memperkirakan bahwa China masih memiliki sekitar 30 juta properti yang belum terjual, yang dapat menampung 80 juta orang. Angka itu hampir sama dengan jumlah penduduk Jerman
Selain itu, sekitar 100 juta properti di China kemungkinan telah dibeli tetapi tidak ditempati. Menurut perkiraan Capital Economics, 100 juta properti itu dapat menampung sekitar 260 juta orang.
Properti yang tidak ditempati itu sebenarnya dalam beberapa tahun terakhir menarik perhatian banyak publik. Tapi kondisinya sekarang seperti kota hantu.
Lalu bagaimana permasalahan ini bisa terjadi di China? Klik halaman berikutnya.
Lihat juga Video: Kegiatan Pertama Astronaut China Sesampainya di Stasiun Luar Angkasa
[Gambas:Video 20detik]
Real estate dan sektor terkait memiliki porsi yang cukup besar dari ekonomi China. Terhitung sektor ini memiliki porsi 30% dari PDB. Selama beberapa dekade terakhir sektor ini telah membantu negara mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang cepat.
Namun selama bertahun-tahun, para kritikus mempertanyakan apakah mesin pertumbuhan ekonomi itu bisa menjadi bom waktu bagi ekonomi terbesar kedua di dunia itu. Mereka berpendapat demikian karena besarnya utang yang diambil para pengembang untuk membiayai proyek mereka.
Evergrande yang tengah menjadi sumber masalah saat ini memiliki kewajiban utang senilai lebih dari US$ 300 miliar.
"Namun, Evergrande bukan satu-satunya yang memiliki utang," kata Christina Zhu, seorang ekonom di Moody's Analytics dilansir dari CNN, Senin (18/10/2021).
Selama beberapa hari terakhir, banyak pengembang di China telah mengungkapkan permasalahan arus kas di perusahaannya sendiri. Mereka meminta perpanjangan waktu untuk membayar utangnya, jika tidak maka akan berpotensi default.
Dalam laporan baru-baru ini, Zhu menulis bahwa 12 perusahaan real estat China gagal membayar obligasi dengan total sekitar 19,2 miliar yuan (hampir US$ 3 miliar) pada paruh pertama tahun ini.
"Ini menyumbang hampir 20% dari total default obligasi korporasi dalam enam bulan pertama tahun ini, tertinggi di semua sektor di daratan China," tambahnya.
Pandemi membuat aktivitas terhenti sementara. Tetapi konstruksi kemudian hidup kembali ketika China dibuka kembali, dan pasar properti negara itu menikmati rebound meski secara singkat. Namun, sejak itu, pasar kembali tersendat dan tidak ada tanda-tanda pemulihan.
Pada bulan Agustus, penjualan properti, yang diukur dengan luas lantai yang terjual, turun 18% dibandingkan dengan waktu yang sama tahun sebelumnya. Pada bulan yang sama, harga rumah baru naik tipis 3,5% dari tahun sebelumnya. Itu merupakan pertumbuhan terkecil sejak pasar properti pulih dari dampak pandemi pada Juni 2020.