Sri Mulyani Bicara Ancaman Ngeri Selain COVID-19, Butuh Rp 6.734 T

Sri Mulyani Bicara Ancaman Ngeri Selain COVID-19, Butuh Rp 6.734 T

Anisa Indraini - detikFinance
Selasa, 19 Okt 2021 19:30 WIB
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati/Foto: Eduardo Simorangkir
Jakarta -

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut Indonesia telah berhasil mengendalikan kasus penularan COVID-19. Tetapi jangan senang dulu, karena ada ancaman lain di depan mata.

Ancaman itu adalah perubahan iklim (climate change) yang tak bisa dihindari oleh semua negara di dunia. Indonesia butuh dana yang sangat besar untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang berbahaya bagi lingkungan.

"Meskipun kita disibukkan dengan pandemi, tapi climate change niscaya terjadi apabila seluruh dunia tidak mengantisipasinya," kata Sri Mulyani dalam Festival Transformasi Kementerian Keuangan, Selasa (19/10/2021).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Biaya itu untuk mengurangi emisi karbon menjadi 29% secara mandiri dan 41% dengan bantuan negara lain di 2030 sesuai Paris Agreement dalam Nationally Determined Contributions (NDCs).

Sri Mulyani mengatakan anggaran yang dibutuhkan Indonesia untuk atasi perubahan iklim sebesar US$ 365 miliar atau setara Rp 5.131 triliun (kurs Rp 14.060) untuk pengurangan emisi karbon sebesar 39%. Sedangkan untuk pengurangan emisi karbon hingga 41%, butuh US$ 479 miliar atau Rp 6.734 triliun.

ADVERTISEMENT

"Kami menghitung besaran biaya untuk menurunkan emisi karbon (CO2) sesuai (NDC) Paris Agreement, misalnya untuk menurunkan 29%, membutuhkan pembiayaan hingga US$ 365 miliar untuk merealisasi janji itu," kata Sri Mulyani dalam CNBC's Sustainable Future Forum.

Sri Mulyani menyebut dana sebesar itu tidak dapat dipenuhi hanya dengan APBN. Pihaknya menaruh harapan lebih pada private sector untuk membiayai komitmen penurunan emisi gas rumah kaca.

Sayangnya untuk menggaet pendanaan dari private sector bukanlah hal mudah. Dia bersama koalisi Menteri Keuangan dunia masih mencari cara yang tepat bagaimana menghubungkan sektor-sektor privat domestik dengan sektor privat secara global.

"Private sector menjadi sangat kritikal. Maka forum koalisi Menteri Keuangan negara G20 menjadi sangat penting untuk mendiskusikan bagaimana kami mendanai dan mengkatalisasi private sector secara global," ucap Sri Mulyani.

Berlanjut ke halaman berikutnya.

Meski begitu, pemerintah disebut sudah meluncurkan berbagai instrumen untuk pendanaan perubahan iklim. Salah satu yang dilakukan adalah menerbitkan obligasi berwawasan lingkungan (global bonds) yang dananya dikucurkan untuk proyek-proyek ramah lingkungan.

"Kami juga menciptakan blended finance (skema pendanaan campuran), yakni sebuah skema yang membuat private sector, filantropi, dan institusi multilateral bisa bersama-sama berpatisipasi menurunkan emisi gas rumah kaca," tuturnya.

Di sisi lain, pemerintah juga akan menerapkan pajak karbon pada 2022 mendatang seiring dengan ditetapkannya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) awal Oktober 2021 lalu.

Tarif pajak karbon ditetapkan paling rendah Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Pemerintah sudah berdiskusi secara intens dengan para industri sebelum menetapkan pajak karbon ini untuk mencari mekanisme yang tepat dalam pemungutan pajak supaya industri tidak terdampak negatif.

"Kami berdiskusi sangat detil dengan mereka karena kami tidak ingin membunuh mereka. Industri mengapresiasi langkah pemerintah, jadi seluruh bisnis di Indonesia melihat perubahan iklim sebagai kesempatan untuk bertransformasi," pungkasnya.



Simak Video "Ketar-ketir Ilmuwan Lihat Laporan Terbaru soal Perubahan Iklim"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads