Euforia Piala Thomas, Perajin Shuttlecock Tegal Kebanjiran Orderan

Euforia Piala Thomas, Perajin Shuttlecock Tegal Kebanjiran Orderan

Imam Suripto - detikFinance
Rabu, 20 Okt 2021 15:45 WIB
Permintaan Shuttlecok di Tegal Melonjak
Foto: Imam Suripto
Tegal -

Para perajin pembuatan shuttlecock rumahan di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, mengeluhkan sulitnya mendapatkan bahan baku lantaran permintaan pasar yang meningkat. Pesanan shuttlecock ini naik sebagai dampak event bulu tangkis Piala Thomas.

Event bulu tangkis kelas internasional yang baru saja selesai ini memberi dampak positif bagi para perajin shuttlecock di Desa Lawataan, Kecamatan Dukuhturi, Kabupaten Tegal. Desa ini sudah sejak lama dikenal sebagai desa penghasil produksi shuttlecock. Industri rumahan ini sudah ada sejak tahun 1950 an dan terus bertahan hingga sekarang.

Dari sekitar 5658 warga di desa tersebut, hampir 60% nya menggeluti pekerjaan sebagai pembuat shuttlecock. Maka tidak mengherankan, hampir di setiap rumah warga di desa lawatan ini dipenuhi dengan bahan baku dan peralatan untuk membuat shuttlecock.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kepala Desa Lawatan, Sutarjo mengatakan, dalam setiap pekan, produksi shuttlecock rata rata 75 slop tiap perajin. Awal pandemi tahun 2020, bisnis ini sempat menurun, namun kondisi ini tidak berlangsung lama. Memasuki tahun 2021, meski masa pandemi berlangsung, bisnis ini mulai kembali normal dan bahkan meningkat.

Belakangan, permintaan shuttlecock ini makin menanjak dengan adanya even bulutangkis piala Thomas. Rata rata, peningkatan ini mencapai 50 persen dari biasanya.

ADVERTISEMENT

"Sebenarnya, peningkatan produksi dan konsumen sudah berjalan sejak kemarin saat masih pandem. Apalagi dengan adanya Thomas Cup yang kembali direbut Indonesia itu seakan akan menjadi suport baru kami dan konsumen. Permintaannya meningkat. Jika biasanya 75 slop tiap pekan, kini naik 50 persen," ujar Sutarjo, Rabu (20/10/2021).

Kebanyakan, pesanan datang dari sejumlah perusahaan shutllecock kenamaan di Indonesia. Khusus untuk memenuhi permintaan perusahaan tersebut, kata Kades Lawatan, produknya dikirim dalam bentuk setengah jadi.

Untuk memenuhi pesanan dari perusahaan ini, perajin shutllecock di desa ini harus menggarap sesuai dengan keinginan dari pihak pemilik merk. Produk shuttlecock pun harus sesuai standar kualitas yang diterapkan.

"Maka tidak mengherankan, shuttlecock merk terkenal yang beredar di pasaran itu merupakan hasil produksi tangan tangan warga Desa Lawatan," ucapnya menambahkan.

Naiknya permintaan ini, sayangnya tidak diikuti dengan ketersediaan bahan baku. Sehingga banyak perajin yang kuwalahan menggarap pesanan shuttlecock ini.

"Akan tetapi kami juga punya permasalahan, karena dengan semakin meningkatnya pesanan, otomatis kita butuh bahan baku yang cukup. Sedangkan untuk saat ini, masyarakat desa Lawatan yang notabenenya 60 persen home industri, kami punya masalah dengan bahan baku. Bahan baku ini sekarang sudah susah didapat. Bahkan banyak yang membeli bahan baku impor dari Taiwan dan lain," ungkap Kades Lawatan.

Soal kurangnya bahan baku diakui oleh slaaj satu perajin shuttlecock, Torikhin (36). Naiknya permintaan shuttlecock Desa Lawatan membuat para perajin kewalahan. Torikhin juga menyebut, demam piala thomas membuat naiknya jumlah pesanan.

"Semua bahanya susah, mulai dari bulu ayam, sampai komponen lainnya. Kalau tidak salah, awal pandemi 2020 dulu sempat turun pasokan bahan baku, karena PSBB. Nah sekarang, sejak pandemi berkurang, kembali normal, tapi ini kan berbarengan dengan lagi rame ramenya badminton. Indonesia juga menang, nah mungkin timingnya barengan, sedangkan produksi kan masih kurang banyak," ucap Torikhin.

Torikhin meneruskan, bahan baku membuat shuttlecock adalah bulu unggas seperti angsa maupun ayam. Bahan ini dipasok dari berbagai daerah dan ada yang produk impor. Perajin membeli bahan baku ini dengan harga Rp 80 tiap helai untuk bulu sedang dan Rp.125 bulu tebal.

Proses produksi shuttlecock ini dimulai dari pencucian bulu, pengguntingan, menjahit, pemasangan dan seterusnya sampai selesai. Untuk harga jual, tiap perajin mematok harga yang bervariatif mulai dari paling murah Rp.30 ribu sampai Rp.120 ribu. Harga jual ini tergantung dari jenis bulu unggas yang dipakai. Sementara, para pekerja dalam tiap slopnya mendapat upah Rp.7500.


Hide Ads