Situasi pandemi COVID-19 memberikan tekanan kepada seluruh sektor industri dan ekonomi sosial. Akan tetapi, di sisi positifnya pandemi juga mendukung percepatan digitalisasi di sektor keuangan.
Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Kepala Departemen Manajemen Risiko Bank Indonesia, Edi Susianto. Dia mengatakan, sistem pembayaran digital mengalami perkembangan yang pesat seiring dengan meningkatnya adaptasi masyarakat dalam menggunakan platform digital selama pandemi.
Namun, di balik pertumbuhan yang positif, terdapat juga ancaman yang menyelimuti kemajuan teknologi. Sepanjang 2021, Bank Indonesia mencatat ada peningkatan risiko cyber crime (kejahatan siber) yang terjadi di sektor keuangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sepanjang tahun 2021 bahwa secara umum terdapat peningkatan signifikan risiko cyber nasional dibanding tahun sebelumnya dengan puncaknya terjadi serangan cyber itu terjadi di bulan Mei. Sementara kita lihat bahwa sektor pemerintahan dan keuangan menempati posisi pertama dan kedua sebagai sektor yang mengalami serangan cyber terbanyak," kata Edi dalam webinar Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) yang digelar secara virtual, Rabu (3/11/2021).
Dia mengatakan, data tersebut menunjukkan bahwa sektor keuangan masih menjadi target utama serangan cyber terlebih dari sisi ekosistem ekonomi dan keuangan yang meningkat setelah didukung oleh perkembangan teknologi digital.
Edi mengungkapkan, risiko serangan cyber tersebut tidak hanya berpotensi pada infrastruktur yang dimiliki Bank Indonesia saja tetapi justru di seluruh sektor publik termasik digital banking. Menurutnya dibutuhkan koordinasi dan kolaborasi antar otoritas dan stakeholder untuk mengatasi permasalahan tersebut.
"Peningkatan risiko cyber ini terjadi di seluruh sektor baik infrastruktur yang dibuat BI maupun publik seperti digital banking dan end point security yang berada di masyarakat. Saat ini pengembangan infrastruktur di pasar uang dan sistem pembayaran lebih terintegrasi dan terhubung oleh jaringan komunikasi data sehingga lebih sensitif terhadap risiko cyber," ujarnya.
Bersambung ke halaman selanjutnya.
Ketua Umum ASPI Santoso menambahkan, perbedaan serangan cyber di Indonesia dan luar negeri terdapat dari jenis serangan itu sendiri. Jika di luar negeri populer dengan hacking maka di Indonesia lebih sering terjadi social enggineering dan pishing.
"Data-data menunjukkan bahwa bukan hanya (cyber crime) transaksi digital yang naik namun juga mulai maraknya berbagai macam penipuan dan mungkin teknologi cyber security berbeda dengan di luar negeri. Kalo di luar negeri banyak hacker, di Indonesia lebih banyak social engginer," kata dia.
Direktur Keamanan Siber dan Sandi Keuangan Perdagangan dan Pariwisata, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Edit Prima mencatat, sampai September 2021 terdapat 927.130.649 anomali traffic internet.
Artinya, terdapat upaya seseorang masuk ke dalam suatu jaringan. Angka tersebut meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun lalu.
"Jadi bicara anomali traffic ini dikatakan dia mengindikasikan serangan cyber. Jadi ketika dibilang serangan cyber sedikit berbeda dengan analogi di dunia nyata," kata Edit.
"Kalau dunia nyata itu sudah ada kerugian fisik yang kita terima namun serangan cyber upaya pelaku kejahatan itu mengintip jaringan kita, jadi belum melakukan apapun, baru standing saja itu sudah dihitung sebagai anomali atau sebagai serangan. Jadi kenapa angkanya bisa sampai juta bahkan bisa sampai 1 miliar dalam satu tahun ini, begitulah kondisinya. Memang serangan itu trennya selalu meningkat," jelasnya.
(dna/dna)