Jakarta -
Kasus kebocoran data marak terjadi selama dua tahun pandemi COVID-19. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat setidaknya ada 7 kasus yang mengemuka dan menjadi perhatian publik dari mulai kasus pencurian data pada e-commerce, fintech, asuransi hingga perbankan.
Direktur Eksekutif Kepala Departemen Manajemen Risiko Bank Indonesia (BI), Edi Susianto mengatakan, sepanjang tahun ini terjadi peningkatan risiko cyber crime secara nasional. Menurutnya, ada dua sektor yang menempati posisi teratas dari kejahatan siber ini.
"Kita lihat bahwa sektor pemerintahan dan keuangan menempati posisi pertama dan kedua sebagai sektor yang mengalami serangan cyber terbanyak," ujar Edi dalam webinar Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) yang digelar secara virtual, Rabu (3/11/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari data tersebut, menunjukkan bahwa sektor keuangan masih menjadi target utama serangan cyber. Terlebih dari sisi ekosistem ekonomi dan keuangan yang meningkat setelah didukung oleh teknologi digital.
Sementara itu, Direktur Keamanan Siber dan Sandi Keuangan Perdagangan dan Pariwisata BSSN, Edit Prima menambahkan, hingga September 2021 terdapat 927 ribu anomali traffic internet. Dimana ada upaya dari pihak lain yang ingin mencoba masuk ke dalam jaringan internet secara ilegal dan berpotensi dalam tindak pencurian data.
Beberapa teknik yang dilakukan dalam pencurian data ini dikenal dengan beberapa istilah seperti skimming, phising dan ransomware yang beberapa tahun terakhir populer terjadi di berbagai negara.
"Tahun 2021 sektor keuangan cukup signifikan (sebagai) target serangan. Memang dari angka-angka ini ke sektor keuangan 20% itu adalah serangan server lalu 10% nya itu adalah ransomware. Kita tahu ransomware populer di tahun-tahun ke belakang dan tentunya itu harus diantisipasi oleh teman-teman semua di sektor keuangan," kata Edit.
Pihaknya mengakui, perihal regulasi pemerintah Indonesia masih belum cukup mengantisipasi permasalahan tersebut. Sehingga ke depan akan disiapkan Perpres baru mengenai aturan keamanan cyber tersebut.
"Terhadap regulasi juga memang kita harus akui berbagai kebijakan di Indonesia belum cukup ampuh mengantisipasi meningkatnya cyber crime, khususnya di masa pandemi. Pada prinsipnya diharapkan pelaku penyelenggara menerapkan kerangka kerja yang berbasis merujuk pada standar," kata dia.
"Kita perlu berbagi informasi ketika ada insiden bisa dilaporkan ke otoritas sehingga otoritas bisa mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu agar insiden itu tidak menyebar ke sektor lain. Hal ini yang perlu dilanjutkan dan dikembangkan dalam Perpres nanti," jelasnya.
Sekadar informasi, maraknya kasus kebocoran data di Indonesia kembali memunculkan pertanyaan kabar Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP). Berbagai pihak mendesak pemerintah agar segera membahas RUU tersebut lantaran tahun 2021 akan segera usah padahal RUU PDP masuk dalam Prolegnas 2021.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyebutkan bahwa pemerintah dan DPR akan membahas RUU PDP kembali pada bulan November ini.
"Kalau ditanya, apakah pembahasan RUU PDP akan dilanjutkan? Jawabannya, iya akan dilanjutkan. Pada awal November 2021, Panja dari pihak pemerintah dan DPR akan melanjutkan pembahasan," kata Juru Bicara Kementerian Kominfo, Dedy Permadi, Senin (25/10) lalu.