Reza pun mengakui, daerah yang bergantung pada sektor tertentu memang relatif memiliki pertumbuhan ekonomi rentan terhadap guncangan. Misal Bali, yang sangat bergantung pada sektor pariwisata. Adanya pandemi Covid-19 membuat daerah tersebut mengalami kontraksi paling dalam.
"Namun, daerah yang perekonomiannya lebih terdiversifikasi seperti Jawa dan Sulawesi, khususnya Sulawesi Selatan, relatif tumbuh stabil sebelum era pandemi dan pulih lebih cepat pada Kuartal 2-2021," ujarnya.
Kemudian, Direktur Sinkronisasi Urusan Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), R. Budiono Subambang mengatakan, Pembangunan Daerah sejatinya telah memiliki banyak dasar hukum. Seperti UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, hingga Permendagri Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pendoman Penyusunan RKPD 2022. Menurut Budiono, RKPD memiliki tujuan pengintegrasian kebijakan dalam upaya meningkatkan pencapaian program strategi nasional di kementerian/lembaga hingga daerah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Misal, pada program peningkatan peran UMKM terhadap ekonomi nasional. Maka di daerah perlu dilaksanakan peningkatan kemitraan usaha mikro kecil dan besar. Kemudian, peningkatan kapasitas usaha dan pembiayaannya. Serta membuat kebijakan peningkatan kapasitas jangkauan, termasuk inovasi koperasi dan peningkatan hingga peluang usaha.
"Artinya ini adalah kebijakan-kebijakan pemerintah yang memberikan ruang bagi para pemangku kepentingan untuk melihat bahwa bagian-bagian ini sudah menjadi hal yang harus dilaksanakan, mulai dari pusat sampai ke daerah," tuturnya.
Dari sisi energi, Koordinator Pengolahan Minyak dan Gas Bumi Ditjen Migas, Kementerian ESDM, Muhiddin, juga mengatakan pemerintah melalui koordinasi dewan energi nasional saat ini sedang menyusun konsep dan strategi green national. Menurutnya, dengan adanya konsep tersebut diharapkan bisa ditemukan jalan keluar terbaik untuk menghadapi kendala energi nasional saat ini. Ada empat poin tantangan di sektor energi yang saat ini masih dihadapi Indonesia.
Pertama, terkait dengan produksi minyak mentah turun dan membuat impor crude dan BBM jenis gasoline meningkat. Kedua, LPG masih impor. Ketiga, ekspor batubara tertekan. Keempat, terkait dengan infrastruktur gas dan listrik.
"Tingginya impor elpiji kurang lebih 75% dari kebutuhan masing-masing dari impor. Kalau ini dibiarkan akan menjadi masalah, harus ada upaya diversifikasi energi yang yang dilakukan oleh pemerintah," ucapnya.
(fdl/fdl)