Pemerintah memutuskan untuk membentuk holding Pelabuhan Indonesia (Pelindo). Merger ini dinilai langkah nyata untuk menekan biaya logistik sekaligus menciptakan supply chain logistik pelabuhan yang lebih efisien.
Direktur Namarin Institute, Siswanto Rusdi, mengatakan, tak dipungkiri lagi, sebagai negara kepulauan, pelabuhan memiliki fungsi vital dalam aspek ekonomi di Indonesia. Sayangnya, operasional pelabuhan di Indonesia masih boros biaya. Akibatnya biaya logistik menjadi sangat mahal sehingga daya saing nasional sulit beranjak naik. Namarin Institute diketahui adalah Lembaga Independen yang berfokus pada isu-isu sektor Kemaritiman mengatakan
"Indonesia adalah negara kepulauan dengan segala potensi dan tantangannya. Pembentukan holding pelabuhan harus diikuti dengan kebijakan yang mampu memangkas mata rantai birokrasi yang selama ini menciptakan ekonomi biaya tinggi. Efisiensi logistik ini akan mendorong percepatan pemulihan ekonomi kita," jelas Siswanto di Jakarta, Kamis (25/11)
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Siswanto menjabarkan, biaya logistik yang tinggi dapat ditelusuri sejak barang diangkut dari gudang milik konsumen hingga sampai ke lokasi tujuan. Dari mata rantai perjalanan barang tersebut, berbagai biaya sudah mengikuti.
"Efisiensi logistik harus lebih fokus pada aktivitas yang berada di darat. Seperti memperpendek birokrasi dan mendorong digitalisasi layanan pelabuhan agar biayanya semakin terukur dan pasti. Mengharapkan biaya pelayaran untuk lebih efisien rasanya sulit karena ruang untuk itu sangat terbatas," jelasnya.
Sementara itu, dalam kajiannya, Sekretariat Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) menemukan fakta kawasan pelabuhan menjadi salah satu faktor pemicu tingginya biaya logistik. Dalam kajian periode 2021-2022 itu menurut Stranas PK, faktor birokrasi dan layanan di pelabuhan laut yang tidak terintegrasi dan tumpang tindih, termasuk banyaknya instansi pemerintah yang terlibat serta rendahnya koordinasi menjadikan biaya logistik mahal.
Direktur Strategi PT Pelabuhan Indonesia (Persero) Prasetyo mengungkapkan bahwa biaya logistik di Indonesia mencapai 23 persen dari produk domestik bruto (PDB). Dari 23 persen itu, biaya logistik di laut hanya sekitar 2,8 persen.
"Yang lainnya terdistribusi pada beberapa peran yaitu darat, utamanya di inventory dan beberapa bagian lain," katanya.
Prasetyo menuturkan ada lima faktor utama pemicu biaya logistik tinggi. Pertama adalah regulasi dari pemerintah, terutama dalam hal ekosistem atau pelayanan logistik. Kedua, efisiensi value chain darat karena keterbatasan infrastruktur dan kurangnya konektivitas antara darat dengan pelabuhan. Ia mencontohkan pengembangan jalur infrastruktur darat di Pulau Jawa atau trans Jawa ikut merubah peta logistik nasional.
Faktor ketiga menyangkut efisiensi value chain maritim yang masih belum optimal. Contohnya pelayaran dengan menggunakan kapal-kapal kecil untuk mengangkut logistik ke Indonesia Timur. Keempat adalah terkait kinerja operasi dan pengembangan atau optimalisasi kapasitas dari infrastruktur pelabuhan.
Kelima adalah supply and demand yang tidak seimbang karena masih terpusat di Pulau Jawa. Dia menyebut masih banyaknya supply dari Jawa ke daerah-daerah, sementara saat akan kembali peti kemas dari daerah-daerah tersebut cenderung kosong.
"Kami berharap dengan merger Pelindo I,II,III, dan IV menjadi Pelindo, biaya logistik ini bisa dioptimalkan. Kami bisa melakukan efisiensi dalam beberapa strategi seperti standarisasi SDM, dan juga capex untuk berinvestasi," ujarnya
(hal/zlf)