Operasi PT Freeport Indonesia (PTFI) yang sudah berlangsung 50 tahun membawa dampak sosial dan ekonomi yang besar bagi penduduk di sekitar area tambang. Mereka adalah dua suku besar, yaitu Suku Kamoro yang tinggal di pesisir sungai Mimika, serta Suku Amungme yang mendiami pegunungan Tembagapura, berikut dengan 5 suku kerabatnya.
Salah satu pengaruh sosial ekonomi yang paling signifikan adalah mata pencaharian. Dulu mereka hanya berfokus pada pencaharian nelayan dan berburu. Namun setelah Freeport masuk dan mulai beroperasi tahun 70-an, mereka direlokasi dan diberikan pekerjaan baru sebagai peternak, petani dan nelayan.
"Pada saat kami merelokasi, kami bersama Freeport dan pemerintah, kami akan memberikan lapangan kerja, karena itu untuk memenuhi janji kami melakukan usaha peternakan ayam petelur dan usaha ini sangat cocok karena saat itu di kabupaten Mimika tidak ada usaha ayam petelur," kata Devia Mom, Ketua Yayasan Jaya Sakti Mandiri, kepada detikcom di Timika, Mimika, Papua beberapa waktu lalu.
Yayasan yang bermitra dengan Freeport selama 15 tahun ini, pun mulai dengan 1 kandang dan jumlah ayam 3.200 ekor. Lalu hingga kini berkembang menjadi 28 kandang dengan produksi 2.400 butir per hari. Devia menyebutkan omzet per bulan bisa mencapai Rp 3 juta hingga Rp 4,7 juta yang sebagian besar hasilnya dijual ke Pangansari milik Freeport lalu sisanya dijual ke supermarket dan pasar lokal.
"Masyarakat dapat gaji dari hasil penjualan, jika kurang, manajemen Freeport biasanya akan mendukung keuangan," tandasnya.
Devia juga menuturkan, masyarakat yang direlokasi ini juga bisa memilih bertani dengan menanam coklat, ketimun, cabai, keladi, pisang dan lainnya. Dia mengklaim hasil pertanian masyarakat yang bermigrasi ini bisa mencapai 3-5 ton. Sama seperti hasil peternakan, hasil kebun ini juga sebagian besar dijual ke internal Freeport di wilayah Timika dan Tembagapura.
"Yang kita beli itu kata mereka sangat menguntungkan. Kalau di pasaran kalau mereka jual Rp 5 ribu di kita kita beli Rp 10 ribu sehingga mereka mereka untung, hingga mereka bisa beli beras, untuk sekolah anak dan memperbaiki kehidupan mereka," sambung Devia.
Dengan usaha ini, masyarakat suku ini pun mulai mengenal perbankan dan mempunyai rekening plus mendapatkan uang setiap hari."Ini memberi motivasi juga untuk mereka untuk berkebun karena mereka tahu dengan berkebun mereka bisa dapat uang setiap hari," tutupnya.
Sementara itu petani kakao, Hilanus More, mengatakan hidupnya kian sejahtera ketika dia mulai bercocok tanam."Hasilnya saya bisa membantu ekonomi keluarga, sudah 7 tahun, anak juga bisa sekolah. Saya senang ekonomi tidak susah setiap hari kami bisa makan, beli pakaian juga bisa dari coklat," katanya yang punya penghasilan hingga Rp 2 juta per bulan.
Bersambung ke halaman berikutnya. Langsung klik
(mul/akn)