Dalam kesempatan tersebut, Andre yang merupakan politisi asal Partai Gerindra itu menjelaskan bahwa dalam Kontrak Joint Venture Company (JVCo) tersebut, Angkasa Pura II sebagai pemegang saham mayoritas dengan menguasai 51 persen saham di PT Angkasa Pura Aviasi, sementara GMR Airports Consortium memegang 49 persen saham. pengelolaan selama 25 tahun.
"Ini harus kita jelaskan kepada masyarakat. Bahwa saat ini Angkasa Pura II melakukan kerja sama dengan GMR Airports Consortium dan membentuk Joint Venture Company (JVCo), yaitu PT Angkasa Pura Aviasi. Nah ini yang harus kita luruskan dan jelaskan mengenai kontrak kerjasama tersebut," ungkap Andre.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karena itu Andre meminta, agar Kementerian BUMN dan para BUMN BUMN yang ada di Indonesia sebelum melakukan aksi korporasi melaporkan terlebih dahulu kepada Komisi VI DPR RI agar bisa saling suport dan juga menepis isu adanya pengalihan aset. Padahal 100 persen Bandara Kualanamu ini masih dikuasai oleh Angkasa Pura II.
"Kita tahu bahwa Kemitraan ini bukan transaksi penjualan saham atau bentuk penjualan aset. kemitraan strategis tersebut adalah inovasi model bisnis yang menarik minat investasi pihak swasta untuk berkontribusi dalam pengembangan infrastruktur di Indonesia," papar Andre.
Politisi Gerindra yang berasal dari Daerah Pemilihan Sumatera Barat itu menuturkan, dalam kontrak JVCo tersebut yang perlu masyarakat sadari bahwa ini adalah kerja sama BOT (Build Operate Transfer), artinya ini kerja sama operasional yang terjalin selama 25 tahun. Maka jika kontraknya sudah berakhir, akan dikembalikan lagi kepada Angkasa Pura II.
"Di satu sisi kita harus apresiasi, bahwa di masa pandemi ini ada pihak swasta yang mau berinvestasi, menaruh uangnya sebanyak US$6 miliar atau setara degan Rp 15 Triliun di Indonesia," tutur Andre.
Dengan demikian dengan adanya isu penjualan aset Bandara Kualanamu ini bisa menjadi evaluasi bagi Kementerian BUMN dan Angkasa Pura II serta BUMN BUMN lainnya untuk memperbaiki komunikasinya.
"Sehingga masyarakat tidak terjebak dengan berita berita yang tidak benar, serta menjadi edukasi kepada masyarakat terkait dengan investasi," tuturnya.
"Karena itu, kita harus buka semua isi perjanjiannya. Supaya tidak ada fitnah. Supaya masyarakat mengetahui apakah kerja sama itu berpotensi merugikan negara atau justru sebaliknya? Sehingga kerja sama ini yang tujuannya baik bisa berjalan untuk kepentingan Indonesia," tegas Andre.
(mpr/ara)