Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan ketidakwajaran pada program penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PC-PEN) 2020. Hal itu disampaikan dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2021.
BPK menilai pelaporan kebijakan keuangan negara untuk menangani dampak pandemi COVID-19 pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) sebagai implementasi ketentuan Pasal 13 Undang-undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 belum didukung dengan mekanisme pelaporan secara formal.
"Akibatnya, pertanggungjawaban keuangan negara dalam rangka penanganan dampak pandemi COVID-19 belum sepenuhnya sesuai dengan UU tersebut," demikian laporan IHPS I 2021 dikutip detikcom, Kamis (9/12/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penilaian tersebut diberikan karena pemerintah belum menyusun dan menetapkan mekanisme pelaporan biaya penanganan COVID-19 secara komprehensif pada LKPP sebagaimana diamanatkan Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2020.
Dalam hal ini, realisasi insentif dan fasilitas perpajakan dalam rangka PC-PEN tahun 2020 minimal sebesar Rp 1,69 triliun tidak sesuai dengan ketentuan. Akibatnya, kelebihan pencatatan penerimaan pajak ditanggung pemerintah (DTP) sebesar Rp 24,12 miliar, kekurangan pembayaran pajak beserta sanksinya sebesar Rp 967,46 miliar, serta nilai insentif dan fasilitas perpajakan minimal sebesar Rp 706,04 miliar belum dapat diyakini kewajarannya.
BPK menilai hal di atas disebabkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) belum optimal dalam mengadministrasikan informasi pelaksanaan program insentif dan fasilitas perpajakan, mengawasi pelaksanaan penelitian tarif atas importasi yang mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk, termasuk pengujian dan tindak lanjut yang dilakukannya.
Selain itu, kuasa pengguna anggaran (KPA) dan pejabat pembuat komitmen (PPK) Belanja bendahara umum negara (BUN) pada DJP tidak teliti dalam melakukan pengujian formal dan material atas tagihan belanja subsidi pajak DTP.
"Pelaksanaan belanja program PC-PEN sebesar Rp 9 triliun pada 10 K/L tidak memadai. Akibatnya, pengeluaran tersebut belum dapat diyakini kewajarannya. Hal ini disebabkan pengendalian pada K/L dan peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dalam pengawasan atas pelaksanaan program PC-PEN belum optimal," tulis BPK dalam IHPS.
Lebih lanjut, penyaluran subsidi bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan non-KUR serta Kartu Prakerja dalam program PC-PEN dinilai belum memerhatikan kesiapan pelaksanaan program, sehingga terdapat sisa dana kegiatan/program yang belum disalurkan sebesar Rp 6,77 triliun.
Hal itu mengakibatkan realisasi belanja subsidi bunga KUR dan non-KUR dalam rangka PC-PEN dan belanja lain-lain untuk Program Kartu Prakerja belum menunjukkan penyaluran yang sesungguhnya.
"Hal ini disebabkan, Menteri Keuangan belum menetapkan peraturan terkait dengan pengelolaan rekening penampungan sisa dana belanja lain-lain kartu prakerja sebagai dana cadangan," jelas BPK.
Pemerintah juga disebut belum mengetahui sisa dana PC-PEN 2020 dan kegiatan PC-PEN 2020 yang akan dilanjutkan pada 2021. Akibatnya, kegiatan PC-PEN 2020 yang akan dilanjutkan/dibayar pada 2021 tidak dapat dipastikan secara andal.
BPK menilai hal itu disebabkan oleh Menteri Keuangan belum selesai mengidentifikasi pengembalian belanja/pembiayaan PC-PEN 2020 dari sisa dana SBN PC-PEN 2020 dan belum selesai mengidentifikasi kegiatan PC-PEN 2020 yang akan dilanjutkan/dibayar pada 2021.
Apa tanggapan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati? Baca di halaman berikutnya.
Simak juga Video: Peta Sebaran Covid-19 RI Per 9 Desember 2021, Jabar Tertinggi