Utang Sri Lanka yang sangat besar membuat negara yang terkenal akan keindahan alamnya ini tengah menghadapi dilema. Negara yang dipimpin Rajapaksa Gotabaya itu dihadapkan pilihan antara harus membayar utang luar negeri senilai US$ 7,3 miliar atau sekitar 104 ribu triliun (kurs Rp 14.300/US$) tahun ini atau harus menempuh gagal bayar atas utangnya.
Opsi terakhir dapat merusak reputasinya karena akan membuat Sri Lanka lebih sulit meminjam uang di pasar internasional di masa depan dengan harga terjangkau. Namun jika pun utang ditambah, berpotensi memicu kehancuran ekonomi yang semakin parah.
Mengutip Aljazeera, Rabu (19/1/2022), pada Desember 2021, cadangan devisa negara itu mencapai titik terendah dalam sejarah sebesar US$ 1,6 miliar. Ini disebabkan menyusutnya pendapatan dari turis asing, yang menjadi sumber utama devisa negara tersebut selama pandemi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berkurangnya cadangan devisa sendiri telah menjadi masalah buat impor barang kebutuhan sehari-hari di Sri Lanka, bahkan gas untuk kebutuhan memasak sekalipun. Parahnya lagi, pemandangan khas tahun 1970-an sampai 'hadir' lagi, di mana gerobak sapi jantan yang membawa satu barel Minyak Tanah kembali menjadi pemandangan umum di jalan-jalan ibu kota Sri Lanka.
Sri Lanka memang sempat melakukan pertukaran mata uang dengan China sebanyak US$ 1,5 miliar, tapi tak banyak membantu. Bahkan dilemanya menjadi antara membayar utang atau membayar impor kebutuhan sehari-hari bagi penduduk.
Selama ini tampaknya pemerintah berkomitmen pada yang pertama, meski itu berarti mengorbankan kebutuhan warganya yang berjuang untuk segala macam kebutuhan termasuk gas masak, susu bubuk, bahan bakar, dan obat-obatan.