'Kena Jebakan' China, Sri Lanka Bingung Pilih Bayar Utang atau Beli Sembako?

'Kena Jebakan' China, Sri Lanka Bingung Pilih Bayar Utang atau Beli Sembako?

Eduardo Simorangkir - detikFinance
Rabu, 19 Jan 2022 15:41 WIB
Serangan di Sri Lanka: Siapakah National Thowheed Jamath?
Ilustrasi/Foto: BBC World
Jakarta -

Utang Sri Lanka yang sangat besar membuat negara yang terkenal akan keindahan alamnya ini tengah menghadapi dilema. Negara yang dipimpin Rajapaksa Gotabaya itu dihadapkan pilihan antara harus membayar utang luar negeri senilai US$ 7,3 miliar atau sekitar 104 ribu triliun (kurs Rp 14.300/US$) tahun ini atau harus menempuh gagal bayar atas utangnya.

Opsi terakhir dapat merusak reputasinya karena akan membuat Sri Lanka lebih sulit meminjam uang di pasar internasional di masa depan dengan harga terjangkau. Namun jika pun utang ditambah, berpotensi memicu kehancuran ekonomi yang semakin parah.

Mengutip Aljazeera, Rabu (19/1/2022), pada Desember 2021, cadangan devisa negara itu mencapai titik terendah dalam sejarah sebesar US$ 1,6 miliar. Ini disebabkan menyusutnya pendapatan dari turis asing, yang menjadi sumber utama devisa negara tersebut selama pandemi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berkurangnya cadangan devisa sendiri telah menjadi masalah buat impor barang kebutuhan sehari-hari di Sri Lanka, bahkan gas untuk kebutuhan memasak sekalipun. Parahnya lagi, pemandangan khas tahun 1970-an sampai 'hadir' lagi, di mana gerobak sapi jantan yang membawa satu barel Minyak Tanah kembali menjadi pemandangan umum di jalan-jalan ibu kota Sri Lanka.

Sri Lanka memang sempat melakukan pertukaran mata uang dengan China sebanyak US$ 1,5 miliar, tapi tak banyak membantu. Bahkan dilemanya menjadi antara membayar utang atau membayar impor kebutuhan sehari-hari bagi penduduk.

ADVERTISEMENT

Selama ini tampaknya pemerintah berkomitmen pada yang pertama, meski itu berarti mengorbankan kebutuhan warganya yang berjuang untuk segala macam kebutuhan termasuk gas masak, susu bubuk, bahan bakar, dan obat-obatan.

Awal bulan ini, para pemimpin Kamar Dagang Ceylon, sebuah badan industri terkemuka, meminta pemerintah untuk menunda pembayaran obligasi dan menggunakan valuta asing yang langka untuk membeli barang-barang penting seperti makanan dan obat-obatan untuk warga Sri Lanka.

Vish Govindasamy, ketua badan industri, dalam sebuah pernyataan mendesak pemerintah untuk mengizinkan penggunaan arus masuk valas untuk meringankan kesulitan masyarakat umum dalam memperoleh kebutuhan pokok. Pemerintah pun didesak agar menjadwalkan ulang pembayaran utang.

"Kita tidak dapat mengirim pesan kepada dunia tentang kekurangan pangan di negara ini, itu hanya akan kontraproduktif," katanya, dikutip dari Aljazeera, Rabu (19/1/2022).

Sejauh ini permohonan ini tidak didengar karena menteri kabinet dan bank sentral malah berjuang untuk solusi jangka pendek, terutama pertukaran mata uang seperti yang terjadi pada bulan Desember lalu. Tetapi para analis mengatakan bahwa pertukaran semacam itu tidak dapat dengan mudah dikonversi ke dalam dolar AS dan secara praktis tidak ada gunanya dalam hal pembayaran utang.

Bank sentral sendiri telah melikuidasi setengah dari cadangan emasnya untuk membantu memenuhi pembayaran obligasi negara internasional sebesar US$ 500 juta.

Pada akhir Desember, pemerintah juga memerintahkan bank komersial berlisensi untuk menjual 25% dari semua penerimaan devisa ke bank sentral setiap minggu. Anggota parlemen oposisi Dr Harsha de Silva memperingatkan hal ini akan semakin menghambat kemampuan bank komersial melayani kebutuhan importir.


Hide Ads