Jakarta -
Pengusaha berusia 33 tahun, Olumide Gbenro dibesarkan di Nigeria sampai ia berusia enam tahun. Setelah itu, ia pindah ke London, Inggris, ketika orang tuanya yang seorang menteri memutuskan untuk pindah.
Kemudian, tujuh tahun kemudian, Gbenro diberikan visa untuk berimigrasi ke Amerika Serikat. Ia bersama orang tua, dan dua saudara kandungnya pindah ke Columbus, Ohio.
"Menjadi orang kulit berwarna, saya merasa bahwa ada saat-saat tertentu dalam hidup saya di mana saya tidak merasa dihargai sebagai manusia. Saya selalu merasa ditinggalkan," katanya, melansir CNBC, Senin (14/02/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gbenro menginginkan kehidupan yang berwarna, kehidupan yang dipenuhi dengan perjalanan, seni, dan kesempatan untuk bertemu orang-orang dari seluruh penjuru dunia. Tetapi orang tuanya ingin dia menjadi dokter, pengacara atau insinyur.
Akhirnya pada 2016, ia menyelesaikan gelar master ganda dalam bidang epidemiologi dan ilmu perilaku di San Diego State University. Dia menemukan dirinya terjebak di antara dua jalan, antara pergi ke sekolah kedokteran dan menjadi dokter atau berkeliling dunia.
"Sepanjang hidup saya, saya hanya mengikuti aturan, apakah itu dari orang tua, agama, atau masyarakat di sekitar saya. Tetapi jauh di lubuk hati saya tahu bahwa jika saya mengambil posisi dalam program PhD, saya tidak akan pernah bisa kembali, saya tidak akan pernah bisa bepergian ke luar negeri. Saya akan terjebak di laboratorium, jadi saya memutuskan untuk mengatakan 'tidak," tegas Gbenro.
Gbenro mengemasi semua barang-barangnya dan meninggalkan Amerika Serikat untuk berkeliling dunia.
Pemberhentian pertama Gbenro adalah Berlin, Jerman. Dia menghabiskan tiga bulan di sana dengan visa turis.
Ketika Gbenro meninggalkan Amerika Serikat, dia hampir tidak memiliki tabungan dan tidak memiliki rencana apapun. Dia dengan cepat mengembangkan Instagram-nya dengan memposting tips perjalanan, video dance, dan konten lainnya.
Gbenro memutuskan untuk memonetisasi hobinya. Dia akan mengirim pesan kepada pembuat dan bisnis lain di Instagram dan menawarkan untuk membantu mereka meningkatkan strategi media sosial mereka dengan bayaran rata-rata US$ 250 atau setara Rp 3,57 juta (kurs Rp 14.300).
Memulai bisnis jarak jauh sangat sulit pada awalnya, tetapi segera dia memiliki daftar klien yang lengkap dan penghasilan yang cukup untuk menjadikan media sosial sebagai pekerjaan penuh waktu.
Dia mengambil kursus daring dalam pemasaran media sosial yang membantunya menyusun bisnisnya, dan seorang teman lama di San Diego merujuknya ke dua klien pertamanya
Setelah visanya habis, dia pergi ke Meksiko selama empat bulan, lalu kembali ke San Diego. "Tetapi saya menyadari bahwa saya masih tidak senang tinggal di Amerika," katanya. "Ada sesuatu tentang tinggal di Amerika yang membuatku merasa seperti tidak berkembang."
Saksikan juga: Potensi Besar Digital Way of Life di Jawa Timur
[Gambas:Video 20detik]
"Sebagai pria kulit hitam, ada trauma psikologis dan tekanan yang saya rasakan tinggal di sana, terutama sebagai imigran juga, merasa seperti saya tidak cocok."
Gbenro secara resmi meluncurkan bisnis pemasaran media sosialnya, Olumide Gbenro PR & Brand Monetization di 2018 ketika dia masih di San Diego, berkolaborasi dengan koki selebriti, agen real estat, dan banyak lagi. Meskipun dia berkembang pesat di tempat kerja, Gbenro masih mendambakan perubahan.
Suatu sore dia sedang scrolling Instagram dan berhenti di foto salah satu temannya yang sedang bepergian di Bali. Dia sedang bersantai di pantai, dikelilingi oleh pohon palem yang rimbun, dengan kelapa di tangannya.
"Itu tampak seperti tempat yang sempurna untuk ditinggali," kata Gbenro. "Perbedaan antara Bali dan setiap kota lain yang saya teliti adalah bahwa itu tampak sangat damai - semua penduduk setempat, di foto daring, tampak benar-benar bahagia dan seperti mereka menghabiskan banyak waktu di alam."
Pada 2019, ia menemukan apartemen di Bali melalui seorang kenalan di Instagram, memesan tiket pesawat sekali jalan dan tidak pernah menoleh ke belakang.'
Sejak pindah ke Bali, Gbenro dapat menghabiskan lebih banyak uang untuk perjalanan, makan, dan hobi lainnya serta meningkatkan tabungannya. "Saya tidak pernah khawatir tentang uang lagi karena Bali memiliki biaya hidup yang jauh lebih murah daripada Amerika Serikat," katanya.
Selama sembilan bulan pertamanya di Bali, Gbenro menggunakan visa turis. Indonesia menawarkan kepada wisatawan visa sekali masuk yang berlaku selama 60 hari dan memungkinkan untuk empat kali perpanjangan 30 hari, ditambah dengan masa tinggal enam bulan.
Gbenro akan terbang ke Singapura atau Malaysia untuk perjalanan singkat begitu visanya habis, kemudian memperbaruinya setelah dia kembali.
Segera setelah dia beralih ke visa investor, yang memerlukan bukti bahwa Anda berkontribusi pada ekonomi lokal. Gbenro memperluas bisnis pemasarannya untuk membantu orang mengiklankan properti mereka di Indonesia agar memenuhi syarat untuk mendapatkan visa, yang dia perbarui dengan pemerintah setempat setiap dua tahun.
Sebagai seorang pengusaha, Gbenro menghasilkan sekitar Rp 2 miliar per tahun. Selain bisnis konsultasinya, Gbenro menyelenggarakan beberapa konferensi untuk pelatihan digital, termasuk Digital Nomads Summit, yang menarik ribuan orang dan akan diselenggarakan di Bali September ini.
Pengeluaran terbesarnya adalah untuk sewa dan utilitas, yakni sekitar Rp 14,44 juta setiap bulan. Gbenro tinggal di apartemen satu kamar tidur di sebuah gedung dengan gym pribadi, kolam renang, dan restoran di lantai bawah.
Saksikan juga: Potensi Besar Digital Way of Life di Jawa Timur
[Gambas:Video 20detik]
Dia menghabiskan sekitar Rp 8,58 juta setiap bulan untuk makan di luar. Ia sering kali memesan makanan dari restoran lokal di aplikasi Gojek. Pengeluaran Gbenro lainnya yang lebih besar termasuk asuransi kesehatan, transportasi (ia menyewa sepeda motor) dan perjalanan.
Gbenro suka bepergian setidaknya sekali setiap bulan dan sering pergi ke Uluwatu, sebuah wilayah kecil di ujung barat daya Bali yang terkenal dengan selancarnya.
"Saya mungkin menghabiskan jumlah uang yang sama dengan yang saya keluarkan setiap bulan jika saya tinggal di San Diego, tetapi kualitas hidup saya jauh lebih tinggi," katanya. "Saya menjalani kehidupan yang mewah."
Berikut rincian pengeluaran bulanan Gbenro (per Januari 2022):
Sewa dan utilitas Rp 14,44 juta, Makanan: Rp 8,58 juta, transportasi Rp 1,40 juta, telepon Rp 400,40 ribu, Asuransi kesehatan: Rp 1,960 juta, perjalanan Rp4,29 juta, laundry Rp 858 ribu. Total semua pengelurannya sekitar Rp 31,93 juta.
Gbenro mengatakan bagian paling menantang dalam membangun kehidupan barunya di Bali adalah berjuang melawan kesepian. "Saya pergi ke pantai setiap hari, minum kelapa dan melihat matahari terbenam yang indah, tetapi saya tinggal sendiri dan tidak punya teman di sini," jelasnya.
Begitu dia mulai mengunjungi ruang kerja bersama di Bali dan menghadiri acara networking secara langsung, Gbenro mengatakan bahwa menjadi lebih mudah untuk membangun persahabatan dekat dengan ekspatriat dan penduduk lokal lainnya. Dia percakapan dalam bahasa Indonesia, tetapi mengatakan banyak orang yang tinggal di Bali juga berbicara bahasa Inggris.
"Saya benar-benar dicintai dan disambut oleh orang Bali," katanya. "Semua orang selalu tersenyum, ada nada yang benar-benar tulus dan berpusat pada hati di sini yang tidak bisa Anda dapatkan di tempat lain."
Gbenro mengatakan dia tidak mengalami ketidaknyamanan dan diskriminasi yang sama seperti yang dia hadapi di Amerika Serikat. "Bali tidak memiliki sejarah yang sama dengan Amerika dengan rasisme dan diskriminasi menurut saya, mereka lebih menerima orang asing dan orang-orang dari latar belakang yang berbeda. Orang hanya melihat saya sebagai sesama manusia, bukan orang kulit hitam."
Dia juga mengimplementasikan budaya lokal dalam rutinitas sehari-harinya. Setiap pagi dia bangun pukul 8:00 dan bermeditasi sebelum menyeduh secangkir teh dan memeriksa surelnya. Meditasi telah lama menjadi bagian dari agama Hindu, yang merupakan agama populer di Bali.
"Ini keputusan terbaik yang pernah saya buat," kata Gbenro tentang pindah ke Bali.
Dia berencana untuk menghabiskan sisa hidupnya di Bali dan memiliki rumah di San Diego, Turki dan Karibia yang bisa dia kunjungi beberapa kali dalam setahun.
"Sesuatu tentang Bali membuat saya di sini. Akhirnya terasa seperti di rumah," katanya.
Saksikan juga: Potensi Besar Digital Way of Life di Jawa Timur
[Gambas:Video 20detik]