Ukraina diserang oleh pasukan Rusia setelah Presiden Vladimir Putin mengumumkan operasi militer di negara tersebut. Hal ini membuat ekonomi Ukraina terguncang.
Banyak penerbangan yang dibatalkan, investasi asing dan domestik yang menguap hanya dalam waktu sekejap.
AP News menyebutkan kondisi ini bisa membuat ekonomi Ukraina babak belur. Bahkan diprediksi Ukraina bisa kehilangan US$ 280 miliar atau setara dengan Rp 4.004 triliun (asumsi kurs Rp 14.300).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak awal Januari, mata uang Ukraina terus merosot. Amerika Serikat (AS) pekan lalu sempat menawarkan pinjaman US$ 1 miliar dan parlemen Eropa menyetujui pinjaman US$ 1,3 miliar untuk Ukraina.
Pemilik restoran di Kyiv Ievgen Klopotenko mengungkapkan dia hanya memasok bahan makanan untuk beberapa hari di dapurnya. Hal ini untuk meminimalisir kerugian jika krisis terus terjadi.
"Jika hal buruk terjadi saya tidak tahu lagi harus bagaimana. Bila perlu saya akan memasak untuk tentara," jelas dia.
Kondisi perang ini juga disebut bisa memperburuk kondisi dunia. Pasalnya Rusia adalah negara pemasok terbesar untuk senjata dan bahan bakar nuklir, serta pemasok minyak, gas dan bahan mentah yang membuat pabrik-pabrik di dunia tetap berjalan.
Meski begitu, seorang ekonom dari Harvard, yang juga penasihat Mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama, yaitu Jason Furman mengatakan bahwa rusia hanya memiliki peran kecil dalam ekonomi global.
"Rusia sangat tidak penting dalam ekonomi global kecuali minyak dan gas. Pada dasarnya Ia adalah sebuah pom bensin besar," kata Jason.
Shell dan Total punya kerjasama atau perusahaan gabungan dengan perusahaan minyak Rusia, yaitu Rosneft. Nilai kerja sama itu, menjadi salah satu nilai kontrak investasi asing terbesar di Rusia.
Tetapi, jika pom bensin besar (Rusia) itu tutup akan melumpuhkan semua negara, terutama yang bergantung padanya. Itu akan mengakibatkan kerusakan ekonomi yang terjadi secara intens.
Terlebih lagi dengan harga pangan yang sudah naik ke level tertinggi, selama kurang lebih satu dekade karena pandemi. Padahal, Rusia adalah pemasok gandum terbesar di dunia dan ini mengakibatkan jumlah ketergantungan di beberapa negara menjadi lebih besar sekitar lebih dari 70%.
Seorang senior yang bekerja di International Trade Policy, Peterson Institute for International Economics, yaitu Jeffrey Schott menjelaskan karena ketergantungan Eropa selama ini dengan gas dari Rusia, dapat memicu diskusi baru tentang perluasan sumber energi yang dapat mengesampingkan Rusia dalam ekonomi global.
"Dalam jangka panjang, itu akan mendorong Eropa untuk melakukan diversifikasi," kata Jeffrey Schott.
(kil/das)