Aturan JHT Tuai Pro-Kontra, Gegara Salah Kaprah?

Aturan JHT Tuai Pro-Kontra, Gegara Salah Kaprah?

Kholida Qothrunnada - detikFinance
Sabtu, 26 Feb 2022 09:00 WIB
Jakarta -

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) akan merevisi aturan pelaksana program Jaminan Hari Tua (JHT) yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua.

Staf Khusus Kementerian Ketenagakerjaan Dita Indah Sari, menjelaskan Kemnaker sedang membahas mekanisme dan persyaratan untuk menyederhanakan pelaksanaan program JHT.

"Kami masih bahas bagaimana mekanisme dan syarat-syarat dalam penyederhanaannya," kata dia kepada detikcom beberapa waktu lalu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Langkah pemerintah merevisi ini diambil usai kebijakan tersebut banyak menuai polemik. Hal itu disebabkan karena adanya kesalahan persepsi di kalangan masyarakat, mengenai program yang dijalankan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan tersebut.

Sementara itu, Pengamat dari Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany mengatakan program JHT di Indonesia terjebak pada persepsi pikiran pendek atau short sighted di kalangan pekerja dan sebagian kelompok masyarakat.

ADVERTISEMENT

"Di seluruh dunia semua negara mewajibkan pekerjanya untuk nabung di hari tua. Ada yang bentuk uang pensiun dan jaminan hari tua," kata dia.

Menurutnya, program JHT disusun dengan mempertimbangkan rendahnya kesadaran masyarakat pekerja, dalam menyisihkan penghasilannya sebagai jaring pengaman sosial untuk masa depan. Hasbullah juga menilai saldo JHT pantas jika dicairkan ketika pekerja berusia tua atau sudah pensiun, sehingga bisa memberikan jaminan kelayakan hidup.

"Tapi sekarang banyak manusia itu berpikir pendek, padahal aturan Menaker itu sudah sangat bagus dan sesuai. Jaminan sosial dan manfaat jaminan sosial hanya dapat dicairkan ketika tua," kata dia.

Lanjut halaman berikutnya soal JHT.

Hasbullah menambahkan, berdasarkan data KSPI pada tahun lalu terdapat 50.000 pekerja yang terkena PHK. Kementerian Ketenagakerjaan memperkirakan pekerja yang terancam PHK mencapai 143.000 orang.

Sementara itu, jumlah peserta JHT pada tahun lalu mencapai 52 juta orang. Artinya, polemik mengenai kekhawatiran perubahan skema pencairan JHT hanya mewakili 0,3% peserta di dalam program tersebut.

Pekerja yang terkena PHK saat ini bisa memanfaatkan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sebagai program baru BPJS Ketenagakerjaan. Diharapkan dengan adanya JKP, pekerja tidak perlu khawatir ketika mendapatkan PHK dari adanya perubahan cara klaim dana JHT ini.

Konsep JHT dan JKP yang dirancang pemerintah sama dengan konsep jaminan sosial yang diberlakukan di Jerman. Berdasarkan video yang viral di media sosial, seorang warga negara Indonesia yang tinggal di Jerman menjelaskan bahwa konsep JHT di negara tersebut baru bisa dicairkan ketika usia pensiun, yakni 67 tahun.

Apabila di tengah usia produktif pekerja dikenai PHK, maka Pemerintah Jerman akan menanggung 60% upah pekerja setiap bulan selama satu tahun. Itu dilakukan sembari membantu mencarikan pekerjaan baru.

Hasbullah juga menegaskan kepada para pekerja untuk tidak perlu khawatir tentang dana yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan. Pasalnya, akumulasi dana JHT merupakan investasi pekerja untuk membangun negeri.

Dana jaminan sosial (DJS) yang besar adalah sumber terbaik untuk diinvestasikan di dalam negeri, sebagai investasi pekerja (baik publik maupun swasta) untuk membangun negeri. Dana DJS besar bisa menjadi tulang punggung obligasi negara, dan investasi jangka panjang lain yang hasilnya akan dinikmati oleh pekerja di dalam negeri.

Pinjaman dana luar negeri bunga dan imbal hasilnya akan dinikmati pekerja di negara lain. Faktanya, banyak dana investasi yang masuk ke Indonesia asalnya dari DJS pekerja di negara-negara maju. "Ketimbang pembangunan infrastruktur didanai dari pinjaman luar negeri, dimana imbal hasilnya akan lari ke luar negeri, maka pekerja di dalam negeri akan hanya jadi obyek," tambahnya.


Hide Ads