Masalah Sampah Plastik di RI Tak Kunjung Usai, Apa Solusinya?

Masalah Sampah Plastik di RI Tak Kunjung Usai, Apa Solusinya?

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Senin, 07 Mar 2022 17:55 WIB
Nelayan beraktivitas di dekat tumpukan sampah yang berserakan di Pantai Dadap, Indramayu, Jawa Barat, Sabtu (15/1/2022). Sampah yang sebagian besar dari limbah rumah tangga dan plastik tersebut terseret arus dan menumpuk di pantai sehingga mengganggu aktivitas nelayan. ANTARA FOTO/Dedhez Anggara/hp.
Ilustrasi/Foto: ANTARA FOTO/Dedhez Anggara
Jakarta -

Indonesia menghasilkan 93 juta ton sampah sedotan plastik per tahun. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut sampah sedotan plastik jika disusun setara jarak Jakarta-Meksiko.

"Sampah sedotan plastik itu kalau disusun bisa mencakup jarak dari Jakarta sampai Meksiko," kata Dirjen Pengelola Sampah Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) KLHK Rosa Vivien Ratnawati dalam sebuah webinar, Senin (7/3/2022).

Ia melanjutkan, persoalan sampah plastik di lingkungan terbuka seharusnya jadi keprihatinan semua kalangan karena dampaknya sangat besar terhadap perubahan iklim. Meski pemerintah telah berupaya keras menekan pencemaran sampah plastik, masyarakat juga bisa ambil bagian dengan mengadopsi pola pikir baru.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kesadaran individu yang paling utama. Orang perlu melihat sampah sebagai tanggung jawab pribadi, bukan lagi tanggung jawab pemerintah daerah semata," lanjutnya.

Perubahan pola pikir dan perilaku dalam pengurangan sampah plastik bisa dimulai dari hal-hal kecil, semisal memilah sampah plastik rumah tangga, sedapat mungkin menggunakan kemasan air minum yang awet dan mengurangi pemakaian kantong kresek sekali pakai.

ADVERTISEMENT

Ahli Teknologi Produk Plastik dari Universitas Indonesia, Prof. Dr. Mochamad Chalid, menyatakan terlepas dari banyak stigma yang dilekatkan orang, plastik pada dasarnya produk yang "relatif lebih ramah lingkungan" ketimbang kemasan lainnya semisal yang berbasis kertas.

"Analisis Life Cycle Assessment (LCA) menunjukkan plastik lebih ramah lingkungan karena energi yang diperlukan untuk pembuatannya relatif jauh lebih sedikit dan ini juga terkait erat dengan tingkat emisi C02 dan perubahan iklim," katanya.

Ia mengatakan, plastik merupakan material yang memiliki sejumlah keuntungan karena praktis dan bisa dimanfaatkan dalam jumlah yang banyak. Namun, di sisi lain plastik juga membutuhkan waktu sangat lama untuk terurai.

Berlanjut ke halaman berikutnya.

Direktur Sustainability Development Le Minerale, Ronald Atmadja mengamini hal tersebut. Le Minerale aktif mendukung gerakan Ekonomi Sirkular dengan membantu pemulung dan lapak di berbagai kota mengumpulkan lebih banyak sampah plastik agar bisa diolah dan dijual kembali untuk memenuhi keperluan industri daur ulang dalam negeri.

"Program kerja sekaligus untuk mendukung target Kementerian Lingkungan Hidup mengurangi impor sampah bekas (scrap) yang saat ini mencapai 50% dari kebutuhan industri daur ulang," katanya.

Menurut Ronald, warga juga perlu didorong untuk membiasakan memilah sampah sejak dari level rumah tangga.

"Orang kerap membuang sampah plastik begitu saja, digabungkan dengan sampah rumah tangga lainnya, dimasukkan dalam kemasan plastik yang lain. Akibatnya, sampah plastik yang bernilai ekonomi tinggi ikut tercemar dan pada akhirnya tercecer di lingkungan semisal Tempat Pembuangan Akhir sampah," katanya. "

Ketua Asosiasi Daur Ulang Plastik, Christine Halim mengatakan edukasi warga agar terbiasa memilah sampah plastik bisa sangat membantu menjaga kesinambungan siklus dan ritme industri daur ulang plastik.

"Le Minerale ini brand nasional yang pertama kali mendorong gerakan Ekonomi Sirkular secara masif, mengedukasi publik lewat iklan-iklan sosial. Kami berharap brand lainnya ikut serta dalam hal serupa," tuturnya

Bagi I Made Janur Yasa, pendiri The Plastic XChange, sebuah organisasi nirlaba lingkungan berbasis Bali, kuncinya ada pada pembiasaan warga untuk memilah sampah dari lingkungan terdekat.

"Seperti olah raga, pemilihan sampah plastik tak sekadar teori. Perlu praktik berulang, kalau perlu hingga 1.000 kali agar menjadi bagian dari kesadaran banyak orang," ujarnya.


Hide Ads