China telah membekukan pesawat Boeing pasca jatuhnya Boeing 737-800 pada 21 Maret lalu yang menewaskan 132 penumpang. Penyebab jatuhnya pesawat hingga kini masih belum bisa dipastikan.
Kondisi itu memperparah bisnis Boeing di China yang sebelumnya memiliki masalah lain dengan negara yang merupakan negara pasar penerbangan terbesar di dunia itu. Ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China pada dasarnya telah menyebabkan penjualan Boeing di negara itu berhenti selama empat tahun terakhir.
Melansir CNN, Selasa (29/3/2022), Boeing belum mengumumkan penjualan ke maskapai di China sejak November 2017. Padahal, baru enam bulan lalu, Boeing memproyeksikan pasar China akan bernilai US$ 1,5 triliun atau setara Rp 21.549 triliun (kurs Rp 14.366) dalam pembelian pesawat komersial selama 20 tahun ke depan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kehilangan pasar China akan menjadi pukulan telak bagi Boeing, yang telah dilanda satu demi satu masalah selama tiga tahun terakhir. Dimulai dengan kecelakaan Boeing 737 Max dan kemudian pandemi, yang semuanya menghilangkan permintaan untuk terbang dan menghancurkan keuangan pelanggan maskapainya.
Lalu, belum lama ini, Boeing juga ada masalah dengan model pesawat terbarunya, 787 Dreamliner, yang menghentikan pengiriman.
Pada 2017 dan 2018 China menyumbang lebih dari 20% dari pengiriman global Boeing, tetapi sejak awal 2020 persentasenya turun menjadi di bawah 5%. Padahal Boeing mendapatkan sebagian besar pendapatannya saat pesawat dikirim.
Beberapa ahli percaya Boeing telah mencapai kesepakatan untuk menjual beberapa pesawat ke maskapai China dalam empat tahun terakhir, baik melalui perusahaan leasing atau melalui penjualan di mana nama pembeli tidak dipublikasikan.
Tetapi, analis kedirgantaraan dengan AeroDynamic Advisory, Richard Aboulafia mengatakan tidak ada pesanan pesawat yang resmi tanpa persetujuan dari pemerintah China, yang memandang penjualan pesawat sebagai pengaruh dalam negosiasinya dengan Amerika Serikat mengenai masalah perdagangan secara keseluruhan
CEO Boeing Dave Calhoun mengatakan kepada investor pada bulan Oktober, "Kami tetap dalam diskusi aktif dengan pelanggan China kami tentang kebutuhan perencanaan armada mereka dan terus mendesak para pemimpin di kedua negara untuk menyelesaikan perbedaan perdagangan."
Para analis menyampaikan, semakin lama masalah ini berlarut-larut, semakin besar risiko Boeing untuk kehilangan pasar China.
Biasanya, sebuah maskapai penerbangan enggan beralih di antara produsen pesawat karena perubahan penting seperti itu meningkatkan biaya pelatihan pilot dan membuat suku cadang menjadi lebih mahal.
Jika pelanggan China dengan pesawat Boeing di armada mereka mulai membeli jet dari saingannya Airbus (EADSF), itu akan menjadi perubahan jangka panjang yang tidak mudah diubah.
(das/das)