3 Fakta Sri Mulyani Tunda Pungut Pajak Karbon

3 Fakta Sri Mulyani Tunda Pungut Pajak Karbon

Anisa Indraini - detikFinance
Kamis, 31 Mar 2022 21:15 WIB
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati hadir dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI. Rapat itu membahas pagu indikatif Kementerian Keuangan dalam RAPBN 2022
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati/Foto: Rengga Sancaya
Jakarta -

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan pajak karbon tidak jadi berlaku pada 1 April 2022. Ada beberapa alasan yang jadi pertimbangan dimundurkannya implementasi tersebut.

Berikut tiga faktanya:

1. Aturan Turunan Masih Disiapkan

Sri Mulyani mengatakan saat ini aturan pajak karbon masih disiapkan dan terus dibahas. Hal ini agar sesuai dengan peta jalan penurunan emisi karbon hingga mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pelaksanaan pajak karbon seharusnya dilakukan pada 1 April 2022, namun kita masih harus melakukan koordinasi untuk mensinkronkan roadmap," kata Sri Mulyani dalam acara PPATK 3rd Legal Forum secara virtual, Kamis (31/3/2022).

2. Implementasi Pajak Karbon Rumit

Sri Mulyani mengungkapkan pengenaan pajak karbon sangat rumit. Dari sisi harga misalnya, harga karbon di dunia berbeda-beda sehingga menimbulkan risiko kebocoran. Tak heran, perdagangan karbon antar negara membutuhkan kesepakatan global.

ADVERTISEMENT

Perbedaan harga ini terlihat sangat timpang. Di Jepang misalnya, pajak karbon dikenakan sebesar US$ 3 per ton karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Sedangkan di Prancis tarifnya mencapai US$ 49 per ton CO2e.

Di Spanyol, tarif pajak karbon yang dikenakan mencapai US$ 17,48 per ton CO2e untuk semua sektor emisi gas rumah kaca (GRK) dari gas HFCs, PFCs, dan SF6. Di Kolombia, tarifnya sebesar US$ 4,45 per ton CO2e untuk semua sektor.

"Berdasarkan perhitungan, dunia akan berhasil mengatasi climate change, (jika) harga karbon itu harusnya bisa mencapai US$ 125," jelasnya.

3. Pajak Karbon Diterapkan Bertahap

Sri Mulyani menyebut Indonesia akan mengimplementasikan pajak karbon secara hati-hati dan bertahap. Apalagi saat ini seluruh negara di dunia masih berkutat dalam situasi pandemi dan sedang berupaya memulihkan ekonomi. Dia tak ingin mekanisme pasar karbon justru menghambat pemulihan ekonomi.

"(Kami) menjaga agar pelaksanaan bisa berjalan baik dan tentu tidak mendisrupsi pemulihan ekonomi kita. Ini yang sedang kita terus lakukan," imbuhnya.

(aid/ara)

Hide Ads