Waduh! Penerimaan Negara Berpotensi Hilang Gara-gara Ini

Waduh! Penerimaan Negara Berpotensi Hilang Gara-gara Ini

Ignacio Geordi Oswaldo - detikFinance
Jumat, 01 Apr 2022 14:10 WIB
Petugas Cash Center BNI menyusun tumpukan uang rupiah untuk didistribusikan ke berbagai bank di seluruh Indonesia dalam memenuhi kebutuhan uang tunai jelang Natal dan Tahun Baru. Kepala Kantor perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Papua mengungkapkan jumlah transaksi penarikan uang tunai sudah mulai meningkat dibanding bulan sebelumnya yang bisa mencapai penarikan sekitar Rp1 triliun. Sedangkan untuk Natal dan tahun baru ini secara khusus mereka menyiapkan Rp3 triliun walaupun sempat diprediksi kebutuhannya menyentuh sekitar Rp3,5 triliun. (FOTO: Rachman Haryanto/detikcom)
Foto: Rachman Haryanto
Jakarta -

Kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 12% pada tahun 2022 dinilai memberatkan kelangsungan usaha industri hasil tembakau (IHT). Sebelumnya pada tahun 2020, saat awal pandemi Covid-19, Pemerintah menaikan CHT rata-rata 23%, Harga Jual Eceran (HJE) naik 35%. Kemudian, tahun 2021 di masa pandemi Covid-19, CHT naik rata-rata 12,5%.

Ketua umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan, menegaskan kenaikan tarif cukai yang sangat eksesif secara berturut-turut menyebabkan disparitas harga rokok legal dibanding rokok ilegal makin lebar. Peredaran rokok ilegal mencapai 26,30%, atau estimasi potensi besaran pendapatan negara yang hilang akibat peredaran rokok ilegal adalah sebesar Rp 53,18 triliun.

Menurut Henry Najoan, kebijakan cukai yang sangat eksesif selama 3 tahun ini, tidak selaras dengan kebijakan pembinaan industri hasil tembakau nasional yang berorientasi menjaga lapangan kerja, memberikan nafkah petani tembakau, dan menjaga kelangsungan investasi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Implikasi kebijakan cukai yang sudah berlangsung 3 tahun berturut-turut ini berdampak negatif bagi kelangsungan industri rokok yang legal, potensi PHK tenaga kerja, petani tembakau, dan bahkan kesehatan yang dijadikan tirani oleh kebijakan cukai," jelas Henry Najoan di Jakarta, Jumat (1/4/2022).

Kondisi IHT yang sangat tidak baik ini, menurut Henry, memerlukan keseimbangan dari Pemerintah dalam memandang industri ini. Semestinya, perlakuan yang diberikan atas industri hasil tembakau itu bukan dilarang, melainkan dengan edukasi. Ia juga mendorong Pemerintah terus menindak rokok ilegal secara extraordinary.

ADVERTISEMENT

Selain itu, Pemerintah juga perlu membuat roadmap industri hasil tembakau yang berkeadilan dan komprehensif bagi para pemangku kepentingan.

"Kami memandang perlu arah kebijakan cukai hasil tembakau yang memberikan kepastian iklim usaha yang sehat demi kelangsungan industri hasil tembakau nasional," kata Henry Najoan.

Anggota Komisi XI DPR-RI, Andreas Eddy Susetyo, mengatakan kenaikan cukai hasil tembakau 12% diyakini akan memberatkan kelangsungan IHT. Pasalnya, laju industri rokok terus melambat dalam dua tahun terakhir.

Ia mengingatkan agar Pemerintah jangan hanya memikirkan soal penerimaan negara saja, tetapi harus memperhatikan nasib tenaga kerja yang terlibat di dalam industri tembakau. Karena industri ini melibatkan tenaga kerja yang sangat besar. Ada sekitar 6 juta orang yang terlibat di dalam rantai industri tembakau.

"Jangan bergantung pada industri rokok. Di sini pentingnya sebuah roadmap industri rokok, perlu sebuah kesepakatan yang dapat dijadikan pegangan," ujarnya.

Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Ditjen Bea Cukai, Nirwala Dwi Heryanto, mengatakan arah kebijakan cukai hasil tembakau mendatang mempertimbangkan empat pilar kebijakan.

Pertama, pilar Kesehatan melalui pengendalian konsumsi tembakau. Kedua, pilar keberlangsungan industri mencakup keberlangsungan tenaga kerja. Ketiga, penerimaan negara, dan keempat, peredaran rokok illegal.

Nirwala menambahkan, dalam lampiran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, Pemerintah menargetkan prevalensi merokok anak Indonesia usia 10-18 tahun turun menjadi 8,7% pada 2024.

"Sehingga diharapkan besarana kenaikan cukai hasil tembakau mampu mengurangi angka prevalensi ini," ujarnya.

Pada aspek keberlangsungan industri, untuk meningkatkan efektivitas CHT dalam rangka mendukung upaya mengurangi konsumsi rokok, akan ada kebijakan dana bagi hasil cukai (DBH) cukai hasil tembakau seiring kenaikan tarif CHT.

"Melalui kebijakan ini Pemerintah berupaya meningkatkan dukungan terhadap petani/buruh tani tembakau serta buruh rokok," katanya.

Pilar penerimaan negara, menurut Nirwala Pemerintah harus memastikan kebijakan tarif CHT mampu menghasilkan penerimaan negara sesuai target APBN 2022 sebesar Rp193,53 triliun.

"Prioritas kebijakan cukai hasil tembakau bukan penerimaan negara, tetapi pengendalian aspek Kesehatan. penerimaan negara adalah konsekuensi pungutan yang hasilnya untuk mengurangi dampak negatif," terangnya.

Nirwala menegaskan sebagai langkah mitigasi kebijakan kenaikan tarif CHTdiperlukan aspek pengendalian peredaran rokok illegal.

"Pengawasan barang kena cukai (BKC) hasil tembakau saat ini mengedepankan langkah preventif, tanpa meninggalkan langkah represif untuk memberikan efek jera terhadap pelaku pelanggaran," imbuhnya.

Pemerintah saat ini sedang merumuskan roadmap industri hasil tembakau. Perumusannya dipimpin oleh Kemenko Perekonomian dengan melibatkan seluruh Kementerian/Lembaga terkait, antara lain Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Kementerian Perindustrian.

"Jika roadmap IHT disepakati dan dituangkan dalam produk hukum, Kementerian Keuangan melalui Badan Kebijakan Fiskal dan Bea Cukai dalam permusan kebijakan tarif CHT harus sesuai dengan ketentuan dalam peta jalan tersebut," ujar Nirwala.


Hide Ads