Pemerintah memberi sinyal harga Pertalite, Solar, LPG 3 kilogram (kg) hingga tarif listrik bakal naik. Ekonom memperingatkan agar pemerintah tidak gegabah mengambil kebijakan tersebut lantaran dapat memberikan dampak berbahaya.
"Berbahaya, cuma seberapa berbahayanya tergantung berapa naiknya. Tapi yang jelas kalau naik semuanya pasti berbahaya," kata Direktur Eksekutif Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Mohammad Faisal kepada detikcom, Rabu (13/4/2022).
Pemerintah belum menegaskan tarif listrik golongan mana yang akan naik. Tapi jika yang banyak digunakan oleh masyarakat dan industri atau usaha kecil maka dapat berdampak besar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu kan banyak industri kecil itu mengandalkan listrik yang sekitar situ yang 900 watt. Nah, itu saya rasa dampaknya akan besar, apalagi kalau dikombinasikan dengan kenaikan Pertalite dan LPG 3 kg," jelasnya.
Meskipun dampak buruknya tergantung seberapa besar kenaikannya, Faisal menjelaskan tetap saja, baik listrik, BBM, dan LPG merupakan komponen yang punya pengaruh besar terhadap masyarakat terutama kalangan menengah bawah.
Terlebih ketiganya memiliki cakupan yang luas dan memiliki efek berganda, termasuk ke harga sembako karena dapat membuat ongkos produksi dan distribusi meningkat.
"(Menggerus) daya beli dan juga ongkos produksi untuk para pelaku industri kecil atau usaha kecil dan mikro. Jadi bukan hanya dari sisi konsumsi kalangan bawahnya saja, tapi juga dari sisi pelaku yang kecil dan mikro itu pasti akan lebih susah lagi dia pulihnya," paparnya.
Oleh karena itu, Faisal menyarankan pemerintah tidak menaikkan tarif listrik, Pertalite dan LPG 3 kg.
"Jangan dinaikkan, karena alasannya tidak kuat. Satu karena alasannya apa? misalnya harga (minyak) internasional naik. Sekarang sebetulnya kalau harga minyak internasional itu sudah mulai turun tadinya sempat US$ 130 per barel, sudah di kisaran US$ 100 sekarang," jelasnya.
Kemudian, pemerintah dinilai masih memiliki anggaran yang cukup untuk memberikan subsidi. Sebab, pemerintah memperoleh windfall dari naiknya harga komoditas sehingga meningkatkan penerimaan perpajakan.
"Jadi surplus sebenarnya dari APBN. Sebenarnya surplus itu bisa dipakai untuk menanggung subsidi, dan subsidi ini adalah subsidi yang paling terakhir menurut saya. Kalau ini dihapus, tidak ada lagi subsidi menurut saya," terang Faisal.
"Dan (subsidi energi) ini pertahanan terakhir bagi masyarakat kalangan bawah yang sudah betul-betul terseok-seok dengan kenaikan berbagai macam kebutuhan yang sudah terjadi, yang sudah naik sekarang. Apalagi kalau itu terjadi itu dampak ekonominya akan sangat besar menurut saya. Jadi jangan dinaikkan menurut saya, tidak ada alasan yang kuat menurut saya. (Subsidi energi) harus dipertahankan," tambahnya.
(toy/das)