Fenomena mudik pada saat Lebaran telah jadi budaya yang sangat semarak. Banyak dari masyarakat yang merantau pilih pulang ke tempat asal untuk merayakan Lebaran bersama sanak saudara.
Salah satu sarana transportasi favorit untuk mudik Lebaran adalah kereta api, tiket bisa dipesan secara online dari jauh-jauh hari dan bisa menikmati suasana perjalanan yang menyenangkan. Tetapi itu cerita masa kini, di masa lalu lain lagi ceritanya.
Mudik naik kereta api sudah jadi banyak pilihan masyarakat sejak tahun 1960-an karena selain harga tiket terjangkau, pilihan moda transportasi lain saat itu masih terbatas. Tiga daerah utama tujuan pemudik kala itu ialah Semarang, Solo dan Yogyakarta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dilansir dari historia, Minggu (24/4/2022), pada 1960-an naik kereta api jarak pendek maupun jarak jauh sama sekali tak nyaman. Bahkan animo masyarakat yang tinggi untuk mudik tak bisa dipenuhi Djawatan Kereta Api (sekarang PT Kereta Api Indonesia) karena kekurangan gerbong kereta.
Kereta penuh adalah cerita sehari-hari bahkan penumpang terpaksa naik lokomotif; berdempet-dempetan dengan masinis, ada pula yang menempel di ketel lokomotif. 'Persis seperti keong, dari pinggir rel tidak bisa dibedakan mana masinis mana penumpang', tulis harian Nasional edisi 1 Maret 1963 lantaran kabin masinis penuh penumpang.
Katanya hanya yang bernyali besar yang berani pulang kampung naik kereta api. Perjalanan Jakarta-Yogyakarta bisa memakan waktu sampai 24 jam, belum lagi kalau kereta mogok di tengah perjalanan dan penumpang harus pindah ke kereta lain yang juga sudah penuh.
Aksi kriminal atau serobotan di dalam perjalanan juga kerap dikeluhkan penumpang. Sementara pada saat yang sama pemerintah tak sanggup menyediakan AC, bisa dibayangkan betapa hebat penderitaan si penumpang?
Mudik dari Jakarta ke Yogyakarta di zaman itu, dengan membawa anggota keluarga dan properti berharga tampak sebagai perjalanan jauh yang melelahkan dan menegangkan. Tak heran jika keprihatinan publik terhadap moda transportasi kereta api merupakan hal lazim di tahun-tahun itu.
Lima puluh tahun kemudian, pengelola kereta api berbenah. Gerbong diperbanyak dan diperbarui. Pemesanan tiket dipermudah dan praktis bisa dilakukan di mana pun via aplikasi perjalanan di ponsel dan menjamin penumpang tenang selama di jalan.
Kini naik kereta api untuk mudik Lebaran semakin nyaman dari masa ke masa. Bagi yang memiliki uang lebih dan ingin merasakan pengalaman berbeda, PT Kereta Api Pariwisata menyediakan kereta 'sultan' untuk mudik. Kereta tersebut melayani penumpang dengan pola charter atau sewa dan perorangan.
Ada sejumlah fasilitas yang disediakan di kereta sultan ini. Fasilitas itu seperti ruang khusus/VIP di stasiun keberangkatan, pelayanan dengan kru khusus yakni captain crew, pramugara/i dan on trip cleaning, serta sajian makan minum sesuai dengan relasi perjalanan kereta wisata.
Tak cuma itu, ada juga hiburan berupa audio video kereta yang membuat pengguna bisa karaoke maupun nonton film. Lalu selama perjalanan, pemudik bisa menggunakan fasilitas free WiFi.
Kereta sultan ini ada beberapa tipe dengan kapasitas yang berbeda. Adapun untuk layanan mudik tahun ini yang tersedia adalah tipe Nusantara, Sumatera, Jawa, Bali, Toraja, Priority dan Kereta Istimewa.
Baca juga: Hati-hati! Calo PNS Cari Mangsa |
Kereta wisata tipe Nusantara, Sumatera dan Jawa masuk kelompok non Priority yang memiliki kapasitas antara 19-22 penumpang. Tarif pola charter untuk perjalanan dari Stasiun Gambir ke Bandung senilai Rp 26,5 juta, Gambir ke Semarang Rp 32 juta, Gambir ke Yogyakarta 33,5 juta, dan Gambir ke Surabaya Rp 37 juta.
Kemudian untuk kereta wisata tipe Priority tarifnya yakni Gambir ke Bandung Rp 28 juta, Gambir ke Semarang Rp 33,5 juta, Gambir ke Yogyakarta Rp 35 juta dan Gambir ke Surabaya Rp 39,5 juta. Kereta ini memiliki kapasitas 30 penumpang.
Tipe kereta Istimewa memiliki kapasitas yang lebih besar yakni mencapai 40 penumpang. Untuk tarifnya, rute Gambir-Bandung dibanderol dengan harga Rp 80 juta, Gambir-Semarang Rp 119,5 juta, Gambir-Yogyakarta Rp 128 juta, Gambir-Surabaya Turi Rp 160 juta.
(aid/dna)