Jakarta -
Investor berbondong-bondong cabut dari China, belasan miliar dolar dana asing cabut dari negeri tirai bambu. Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya, risiko politik dan bisnis, dan kenaikan suku bunga di tempat lain dinilai jadi biang kerok hal itu terjadi.
Dilansir dari CNN, Selasa (26/2/2022), negara dengan kapasitas ekonomi terbesar kedua di dunia itu nampaknya mulai menjadi tempat yang kurang menarik untuk menyimpan uang mereka.
China menyaksikan arus keluar portofolio senilai US$ 17,5 miliar bulan lalu atau sekitar Rp 250 triliun (dalam kurs Rp 14.300). Institute of International Finance (IIF) mengatakan jumlah itu merupakan aliran modal keluar tertinggi sepanjang masa di China.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Arus modal keluar itu mayoritas dalam bentuk obligasi pemerintah senilai US$ 11,2 miliar atau sekitar Rp 160 triliun, sedangkan sisanya adalah ekuitas dalam berbagai portofolio.
Data dari pemerintah China juga menunjukkan rekor penurunan pasar obligasi oleh investor asing dalam beberapa bulan terakhir. Investor luar negeri melepas setidaknya US$ 5,5 miliar atau sekitar Rp 78 triliun obligasi pemerintah China pada Februari.
Ini menjadi penurunan bulanan terbesar dalam catatan yang dipublikasikan China Central Depository and Clearing. Aksi jual semakin besar pada bulan Maret, mencapai level tertinggi baru sebesar US$ 8,1 miliar atau sekitar Rp 115 triliun.
George Magnus, akademisi China Center di Universitas Oxford menyebut ada sentimen politik besar yang membuat arus modal keluar besar-besaran terjadi di China. Salah satunya adalah hubungan dekat China dengan Rusia, karena ada hubungan itu China dinilai mendukung langkah invasi ke Ukraina.
"Dukungan China untuk invasi Rusia ke Ukraina jelas merupakan katalis bagi modal untuk meninggalkan China," kata George Magnus.
Lanjut di halaman berikutnya.
Simak Video 'Penampakan Penduduk Beijing yang Panic Buying':
[Gambas:Video 20detik]
China dan Rusia menyatakan pada bulan Februari bahwa persahabatan mereka tidak memiliki batas. Pernyataan itu diungkapkan sebelum Rusia menginvasi Ukraina.
Sekarang, dengan ekonomi Rusia yang dikecam dengan sanksi dari seluruh dunia, Beijing tidak terburu-buru untuk membantu kawan dekatnya itu, karena khawatir negara itu juga bisa terjebak dalam sanksi.
Tetapi mereka juga menolak untuk mengutuk serangan Rusia di Ukraina, berusaha untuk menggambarkan dirinya sebagai aktor netral dan menyalahkan situasi di Amerika Serikat.
"Ada kegelisahan tentang ambiguitas China, tetapi sikap Rusia yang condong pada konflik Ukraina, yang menimbulkan kekhawatiran bahwa China dapat menjadi sasaran sanksi jika itu membantu Rusia," kata Martin Chorzempa, seorang rekan senior di Peterson Institute for International Economics.
Perang di Ukraina juga meningkatkan kekhawatiran tentang risiko bahwa China dapat meningkatkan kekuatan militernya melawan Taiwan, yang memicu pelarian modal besar-besaran dari negara itu.
Namun ketegangan geopolitik bukan satu-satunya alasan di balik eksodus tersebut. Kenaikan suku bunga di Amerika Serikat dan kebijakan lockdown besar-besaran di beberapa kota yang ada di China telah menakuti investor.
Federal Reserve AS menaikkan suku bunga untuk pertama kalinya sejak 2018 untuk menjinakkan inflasi. Sementara People's Bank of China sebagai bank sentral telah memasuki siklus pelonggaran untuk meningkatkan ekonominya yang goyah.
Artinya, China terlihat kurang menarik bagi investor jika dibandingkan dengan Amerika Serikat. Awal bulan ini, imbal hasil obligasi pemerintah 10-tahun China turun di bawah imbal hasil Treasury AS untuk pertama kalinya dalam 12 tahun. Seiring dengan itu, mata uang Yuan mencapai level terendah selama enam bulan terhadap dolar AS.
"Kenaikan suku bunga, terutama di AS, membuat pengembalian nominal yang terkait dengan aset pendapatan tetap China secara relatif kurang menarik," kata Chorzempa.
Selain itu, komitmen Beijing yang teguh terhadap kebijakan nol-COVID telah mengambil korban ekonomi besar-besaran, dan meningkatkan ketidakpastian tentang pertumbuhan di masa depan.
Ekonomi China melambat tajam pada Maret. Tercatat konsumsi merosot untuk pertama kalinya dalam lebih dari setahun. Sementara pengangguran di 31 kota besar melonjak ke rekor tertinggi.
Beberapa ekonom bahkan berbicara tentang kemungkinan resesi kuartal ini di China karena Beijing tampaknya bertekad untuk mempertahankan kebijakan nol-Covid meskipun ada harga mahal yang harus dibayar di sektor perekonomian.
Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) pada hari Selasa memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi untuk China menjadi 4,4%, turun dari 4,8%. IMF memeringatkan risiko dari kebijakan ketat nol-COVID Beijing. Perkiraan itu jauh di bawah perkiraan resmi pemerintah China di sekitar level 5,5%.