Investor Global Pusing Kepala Gara-gara Lockdown di China

Investor Global Pusing Kepala Gara-gara Lockdown di China

Shafira Cendra Arini - detikFinance
Rabu, 11 Mei 2022 14:00 WIB
Residents stand on a street waiting for nucleic acid test during lockdown amid the coronavirus disease (COVID-19) pandemic, in Shanghai, China, April 17, 2022. REUTERS/Aly Song
Foto: REUTERS/ALY SONG
Jakarta -

Kebijakan Zero COVID China tidak hanya menjadi ujian besar bagi negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia itu. Merek-merek internasional turut terdampak di mana puluhan juta orang mengalami lockdown dan bisnis-bisnis besar terganggu.

Krisis ini mengingatkan kita akan pentingnya China bagi perekonomian global.

Dalam beberapa pekan terakhir, lusinan kota di daratan China, termasuk pusat keuangan Shanghai, telah dilockdown sebagia upaya pembasmian virus Corona.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penerapan kebijakan tersebut memberikan dampak besar pada industri, mulai dari perusahaan Big Tech hingga produk kebutuhan sehari-hari. Kondisi itu mempengaruhi dua sisi ekonomi sekaligus yakni permintaan dan penawaran hingga membuat para eksekutif kembali pusing kepala.

Di sisi lain, banyak perusahaan yang sebenarnya baru saja mengalami kerugian jutaan bahkan miliaran dollar akibat terkena imbas dari perang di Ukraina.

ADVERTISEMENT

Kombinasi kedua peristiwa tersebut telah menciptakan pukulan besar bagi perusahaan multinasional, seperti Estée Lauder (EL), yang pekan lalu mengatakan bahwa "dua hambatan signifikan" memaksanya untuk memangkas prospeknya untuk tahun ini.

"Suka atau tidak, pada titik ini jika Anda adalah perusahaan multinasional, China mungkin adalah pasar konsumen terbesar pertama atau kedua Anda," kata Ben Cavender, direktur pelaksana konsultan China Market Research Group, dilansir dari CNN Business, Rabu (11/05/2022).

"Dan itu mungkin basis produksi utama Anda yang berkontribusi atas sejumlah besar pekerjaan rantai pasokan Anda," sambung Ben dalam sebuah wawancara dari Shanghai, yang telah lockdown selama enam minggu.

Langkah-langkah tersebut (lockdown) telah membuat puluhan juta orang terkurung di rumah selama lebih dari satu bulan, yang menyebabkan tekanan mental tingkat tinggi. Dalam banyak kasus, penghuni tidak dapat meninggalkan apartemen mereka tanpa izin khusus dari tokoh masyarakat, dan sejumlah besar bisnis tetap tutup.

Bersambung ke halaman selanjutnya.

Dalam beberapa tahun terakhir, China telah menjadi pasar terbesar untuk berbagai industri, mulai dari barang mewah hingga mobil. Tapi bulan lalu, ekonomi terbesar kedua di dunia itu melambat tajam, tidak hanya aktivitas belanja konsumen tetapi lapangan kerja juga terkena imbasnya.

Estée Lauder, yang merupakan rumah bagi kosmetik Bobbi Brown dan MAC, sekarang mengharapkan penjualan globalnya tumbuh antara 7% dan 9% tahun-ke-tahun, turun dari kisaran sebelumnya 13%-16% pada bulan Februari.

Pelaku usaha mengatakan telah menerima dampak besar dari penangguhan semua bisnis di Rusia dan Ukraina setelah invasi, yang menyebabkan penurunan penjualan.

"Penjualan juga turun 4% di Asia Pasifik selama kuartal terakhir, yang didorong sepenuhnya oleh China Raya," kata Chief Financial Officer Tracey Travis melalui panggilan telepon, dilansir dari CNN Business.

Beberapa bisnis telah menolak untuk membuat prediksi. Pekan lalu, Starbucks (SBUX) sampai harus menangguhkan target kinerja keuangan selama enam bulan ke depan, CEO Howard Schultz menyebutnya sebagai satu-satunya langakah yang paling bertanggung jawab yang bisa diambil.

"Situasi di China ini belum pernah terjadi sebelumnya," katanya kepada analis melalui jaringan telepon, dilansir dari CNN Business.

"Kondisi di China sedemikian rupa sehingga kami hampir tidak memiliki kemampuan untuk memprediksi kinerja kami di China pada kuartal pertama tahun ini." Negara ini adalah pasar terbesar kedua Starbucks.

Kering, pemilik Gucci dan Bottega Veneta, mengatakan bulan lalu bahwa pihaknya juga kesulitan, dengan penurunan tajam penjualan mereka yang dipicu penutupan toko dan tantangan utama logistik yang ditimbulkan oleh lockdown.

"Situasinya mudah-mudahan hanya sementara," kata Chief Financial Officer Jean-Marc Duplaix pada panggilan penjualan perusahaan, dilansir dari CNN Business.

Perusahaan juga menghadapi masalah di bagian belakang. Selama beberapa tahun terakhir, banyak bisnis telah bekerja untuk mengalihkan setidaknya sebagian dari manufaktur mereka ke luar China, akibat perang dagang dengan Amerika Serikat. Tapi itu tidak mencegah sejumlah besar nama dalam negeri yang terjebak dalam kebijakan COVID tesebut.

Bulan lalu, Apple (AAPL) memperingatkan kerugian besar terkait wabah COVID-19 di China, dengan mengatakan bahwa masalah rantai pasokan dapat memukul penjualannya hingga $4 miliar hingga $8 miliar pada kuartal ini. Bulan lalu, Microsoft (MSFT) juga mengatakan bahwa penghentian produksi di China telah mengurangi pasokan bahan untuk laptop Surface dan konsol Xbox, dan berpotensi "berdampak besar" pada kinerja kuartalannya. Sebagian besar produksi pembuat PC ada di China, menurut daftar pemasok teratas terbarunya.

Banyak merek telah menyatakan optimisme tentang pemulihan bisnis mereka setelah krisis mereda. Dalam beberapa pekan terakhir, pemerintah China telah bekerja untuk membuat lebih banyak bisnis agar dapat berdiri dan berjalan, sementara itu juga berjanji untuk membantu mengendalikan kerusakan ekonomi.
Tetapi para analis telah memperingatkan efek buruk dari kebijakan "nol COVID" di China, dengan mengatakan bahwa ekonomi dapat melambat secara signifikan tahun ini.

Meskipun demikian, Presiden China Xi Jinping telah menggandakan pendekatan pandemi dengan mengatakan pada hari Kamis bahwa pemerintah akan "dengan tegas mematuhi" kebijakan "nol COVID".

Ketika negara-negara lain mulai dibuka kembali, beberapa perusahaan asing mungkin akan mempertimbangkan untuk memindahkan kantor pusat regional mereka keluar dari China, menurut Jörg Wuttke, presiden Kamar Dagang Uni Eropa di China.

"Saya pasti melihat diskusi," katanya dilansir dari CNN Business.


Hide Ads