SPI dan SPKS mencontohkan, hal ini dihadapi petani kelapa sawit di Kabupaten Kuantan Singingi. Perusahaan Wilmar melalui anak perusahaannya PT. Citra yang memiliki 3 pabrik kelapa sawit sampai dengan saat ini masih tutup.
"Praktik yang ditemui di lapangan pun telah terjadi antrean yang panjang dan lama untuk pengiriman TBS dari petani swadaya," kata para petani.
Para petani juga mengeluhkan struktur monopoli dan oligopoli yang terjadi pada industri hulu dan hilir kelapa sawit. Mereka membeberkan struktur pasar oligopoli di industri hulu perkebunan kelapa sawit dan struktur pasar monopoli di sektor hilirnya telah menyingkirkan petani sawit sebagai pelaku rantai pasok.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perusahaan-perusahaan besar ini juga melakukan penyingkiran petani atas tanah garapan karena penguasaan tanah yang timpang sebagai dampak perluasan lahan yang melebihi ketentuan yang berlaku
Lebih nahasnya lagi, banyak perusahaan yang memiliki unit usaha tersebar dari hulu ke hilir. Hal ini menutup kesempatan para petani untuk menjual produk TBS-nya.
"Situasi saat ini, sebelum maupun pasca Permendag 22/2022, banyak pabrik kelapa sawit tidak menerima TBS kelapa sawit produksi petani. Mereka lebih mengutamakan suplai TBS dari kebun inti dan kebun plasma mitra mereka," ungkap para petani.
SPI dan SPKS juga meminta pemerintah segera mengawasi dan mengambil tindakan hukum yang tegas kepada pabrik kelapa sawit atau perusahaan dari tingkat trader, grower, hingga produsen yang ikut andil dalam menentukan harga TBS kelapa sawit secara sepihak di lapangan.
Perusahaan semacam ini menurut para petani, banyak yang menentukan harga tidak berdasar pada harga penetapan pemerintah.
(hal/dna)