Petani Sawit soal Dampak Larangan Ekspor CPO: Sulit Jual TBS, Harga Pun Murah

Petani Sawit soal Dampak Larangan Ekspor CPO: Sulit Jual TBS, Harga Pun Murah

Achmad Dwi Afriyadi - detikFinance
Selasa, 17 Mei 2022 16:49 WIB
Massa yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia gelar aksi unjuk rasa di depan kantor Menko Perekonomian. Mereka memprotes larangan ekspor CPO
Foto: Agung Pambudhy
Jakarta -

Larangan ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan turunannya memberi dampak ke petani. Hal ini membuat petani kesulitan untuk menjual tandan buah segar (TBS) sawit.

Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy (PASPI) Tungkot Sipayung mengatakan, pasca diterapkannya kebijakan tersebut, pabrik kelapa sawit (PKS) mengurangi pembelian TBS dan menurunkan harga pembelian TBS.

"Petani sawit saat ini kesulitan menjual TBSnya. Sudah sulit jual TBS, harganya pun murah," kata Tungkot dalam keterangannya, Selasa (17/5/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Tungkot, petani sawit di Indonesia saat ini ada sekitar 2,3 juta kepala keluarga. Mereka menggarap sekitar 6,8 juta hektare (ha) kebun sawit.

"Merekalah yang merasakan kesulitan memasarkan TBS," katanya.

ADVERTISEMENT

Karena itu, lanjut Tungkot, penerapan aturan pelarangan ekspor itu jangan terlalu lama. Sebab, kebijakan tersebut akan berdampak buruk bagi petani sawit paling tidak hingga dua tahun ke depan.

"Harga TBS turun sehingga para petani tidak sanggup membeli pupuk. Apalagi saat ini pupuk mahal. Karena tak memupuk, produksi tanaman sawitnya akan turun. Dan ini dampaknya bisa sampai dua tahun," katanya.

Anggota Dewan Pakar Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Wayan Supadno mengungkapkan pelarangan ekspor CPO dan minyak goreng berdampak serius kepada petani sawit.

Dia menjelaskan, total produksi CPO nasional pada 2021 sebanyak 52 juta ton. Di mana dari total produksi tersebut, sekitar 34 juta ton (64%) diekspor, sedangkan yang 18 juta ton (36%) digunakan untuk kebutuhan dalam negeri baik untuk pangan, energi maupun oleochemical. Mengingat yang 34 juta ton tersebut tidak boleh diekspor, tentu CPO tersebut tidak punya pasar.

"Karena tidak punya pasar, PKS tidak sudi memproduksi. Kalau PKS tidak berproduksi, maka wajar saja PKS tidak membeli TBS milik petani," kata Wayan Supadno.

Akibatnya, di banyak daerah petani tidak memanen TBS-nya. Sebab kalaupun dipanen, harganya sangat rendah. TBS yang tidak dipanen tersebut akan menjadi tempat berkembangbiaknya jamur yang merusak pohon sawit itu sendiri.

"Jadi sawit itu wajib hukumnya dipanen pada pohon yang sama setiap 15 hari sekali. Jika tidak dipanen, maka akan menjadi bumerang, karena akan menyebabkan penyakit pada pohon sawit itu sendiri. Ini masalah serius yang kami rasakan," kata Wayan.

Wayan Supadno menceritakan sebelum ada pelarangan ekspor CPO dan minyak goreng, harga TBS di tingkat petani Rp 3.800 per kg. Namun saat ini harganya anjlok bervariasi. Ada PKS yang masih bersedia membeli TBS petani Rp 2.000 per kg, namun ada yang membeli Rp1.500, bahkan ada yang dibeli Rp 500 per kg.




(acd/zlf)

Hide Ads