Badai PHK di Startup Kapan Selesainya?

Badai PHK di Startup Kapan Selesainya?

Shafira Cendra Arini - detikFinance
Jumat, 27 Mei 2022 20:00 WIB
Ilustrasi PHK
Foto: Ilustrasi PHK (Tim Infografis: Zaki Alfarabi)
Jakarta -

Kondisi perusahaan rintisan atau start-up kian menjadi perbincangan dalam beberapa waktu terakhir ini. Pasalnya, perusahaan-perusahaan tersebut disinyalir terkena dampak ledakkan gelembung atau bubble burst hingga mengambil langkah pemutusan hubungan kerja atau PHK terhadap karyawannya secara besar-besaran.

Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi mengatakan bahwa ke depannya, startup akan mulai banyak PHK, baik dalam skala kecil maupun besar.

Menurutnya, jika sampai dua tahun ke depan para startup tersebut tidak bisa berkembang, maka startup dipastikan akan gugur. Dia berharap pemerintah bisa turun tangan menyelidiki fenomena ini agar sejalan dengan target pemerintah memiliki 25 unicorn di 2024.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Heru menambahkan bahwa kondisi ini didorong fakta sulitnya startup mencari pendanaan saat ini. Sementara untuk meraih pengguna, rata-rata start-up harus melakukan bakar uang.

"Pendanaan kian ke sini juga kian sulit, apalagi untuk layanan yang sudah melewati fase pertumbuhannya seperti e-commerce, pembayaran digital, travel dan edukasi, digantikan dengan arah baru startup yang mengusung kecerdasan buatan, big data analytic, internet of things, maupun metaverse," ujar Heru kepada detikcom, Jumat (27/05/2022).

ADVERTISEMENT

"Linkaja, Zenius, memang cukup berat karena pemain utamanya sudah jauh di depan. Kalau mau maju harus kuat bakar uang," tambahnya.

Dengan adanya kondisi tersebut, Heru mengatakan bahwa sebagai langkah menghadapinya, restrukturisasi jadi salah satu pilihan dan solusi bagi para startup untuk bertahan.

Hal ini juga senada dengan yang disampaikan Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira. Dia mengatakan bahwa penyebab PHK beberapa startup terjadi karena alami kesulitan pendanaan setelah rencana bisnis terpengaruh pandemi COVID-19 dan penurunan pengguna yang signifikan.

"Faktornya, secara makro kenaikan tingkat suku bunga diberbagai negara membuat investor mencari aset yang lebih aman. Imbasnya saham startup teknologi dianggap high risk. maka banyak yang meramal tahun ini adalah winter-nya startup alias tekanan sell-off besar-besaran di industri digital," ujarnya.

Akhirnya, lanjut Bhima, banyak startup kesulitan mendapatkan pendanaan baru dan investor makin selektif dalam memilih startup.

Fenomena ini bukan bubble burst? Buka halaman selanjutnya.

Sementara itu, eks Ketua Umum Asosiasi e-commerce Indonesia, Ignatius Untung berpendapat fenomena PHK di startup bukanlah bagian dari bubble burst. Menurutnya hal ini lebih dikarenakan kondisi ekonomi dunia yang memang tengah lesu.

"Jangankan resesi, sekarang saja sudah banyak supermarket besar bahkan hypermarket dan toko offline lainnya yang tutup padahal belum terjadi resesi," ujar Ignatius kepada detikcom.

Menurut Ignatius, definisi bubble burst versinya ialah ketika banyak perusahaan yang sudah mendapatkan pendanaan investor namun gagal melanjutkan perjalanannya alias bangkrut. Dengan kata lain ialah ekspektasi terhadap bisnis yang sebelumnya menggelembung tapi ternyata tidak begitu.

"Kalau yang menimpa start-up kita sekarang ini kan tidak. Karena kan investor yang tetap bertahan dan start-up yang bertahan masih banyak," ujar dia.

"Kalau bubble burst itu kan definisinya menggelembung, terus tidak bisa bertahan, akhirnya tidak bisa berjalan. Sedangkan kan sekarang masih ada IPO dll. Artinya kepercayaan masyarakat masih ada," tambahnya.

Bahkan, lanjut dia, fenomena PHK besar-besaran ini bukan hanya perlu dikhawatirkan oleh pegawai startup saja, tetapi juga di pegawai perusahaan konvensional. Menurutnya fenomena ini tak terbatas terjadi di lingkungan startup saja.

"Pilihannya ketika pemasukannya sudah tidak terlalu banyak itu yang pertama fund rising dengan mencari investor. Tapi itu susah karena nggak banyak investor yang mau. Option kedua yaitu dengan efisiensi dan salah satunya dengan melakukan PHK," ujar dia.

Menilik kembali makna ledakan gelembung itu sendiri, Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi juga mengemukakan pendapatnya.

"Kalau saya lihat ini bukan pecahnya gelembung, melainkan gelembung mulai bocor," ujar Heru.

"Kalau pecah ya semua startup rontok, tapi ini perlahan rontok," tambahnya.

Dilansir melalui Investopedia, bubble burst adalah siklus ekonomi yang ditandai dengan nilai pasar yang naik sangat cepat, terutama pada harga aset. Inflasi yang cepat ini diikuti oleh penurunan nilai yang cepat, atau kontraksi, yang kadang-kadang disebut sebagai "kecelakaan" atau "ledakan gelembung". Hingga kini penyebab ledakan gelembung masih terus diperdebatkan para ahli.


Hide Ads