Startup di RI Baru Seumur Jagung Kini Dilanda Badai PHK

Startup di RI Baru Seumur Jagung Kini Dilanda Badai PHK

Achmad Dwi Afriyadi - detikFinance
Minggu, 05 Jun 2022 14:01 WIB
Ilustrasi PHK
Foto: Ilustrasi PHK (Tim Infografis: Zaki Alfarabi)
Jakarta -

Fenomena munculnya startup terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Di Indonesia, perusahaan rintisan di bidang teknologi ini usianya terbilang relatif muda.

Belum diketahui secara pasti kapan startup berkembang di Indonesia, namun Sekertaris Jenderal Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amvesindo) Eddi Danusaputro mengatakan, startup berkembang di Tanah Air ditandai dengan lahirnya Gojek cs yang kini menjadi perusahaan-perusahaan yang dikenal publik.

Gojek lahir di tahun 2010 didirikan Nadiem Makariem yang kini menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Startup besar lain Tokopedia lahir di tahun 2009, Bukalapak tahun 2010 dan Traveloka di tahun 2012.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya lupa tahun persisnya, mungkin awal sejak berdirinya Gojek, Traveloka, Tokopedia, Bukalapak itu 10-12 tahun itu kurang lebih sejak awal berdirinya startup-startup di Indonesia dan ada investasi. Jadi ekosistem startup dan venture capital itu yang sebenarnya belum terlalu berumur juga, masih relatif baru, muda, dibandingkan Silicon Valley, Eropa, Jepang, Korea, China dan sebagainya," terangnya kepada detikcom, Minggu (5/6/2022).

Sebelum perusahaan-perusahaan itu, Kaskus telah muncul sebagai perusahaan digital di Indonesia. Menurut Eddi, era Kaskus merupakan cikal bakal berkembangnya startup. Kaskus sendiri berdiri di tahun 1999.

ADVERTISEMENT

"Ya menurut saya itu ya cikal bakal ya, Kaskus cikal bakal berdirinya startup-startup di Indonesia yang digital, yang teknologi," tambahnya.

Meski relatif muda, perkembangan startup terbilang pesat. Situs startupranking.com mencatat, Indonesia berada di urutan ke-5 startup terbanyak dengan total 2.381 startup. Rangking pertama ada Amerika Serikat (AS) sebanyak 72.130 startup yang diikuti India 13.631 startup, Inggris 6.344 startup, Kanada 3.426 startup.

Selain dari sisi jumlah, startup di Indonesia juga berkembang dari sisi nilai. Saat ini, sudah ada beberapa startup yang menyandang status unicorn yakni perusahaan dengan valuasi US$ 1 miliar atau setara Rp 14,5 triliun (asumsi kurs Rp 14.500) bahkan decacorn dengan valuasi US$ 10 miliar atau setara Rp 145 triliun.

Dalam kunjungannya ke Amerika Serikat (AS) belum lama ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan menyebut Indonesia memiliki 2 decacorn dan 8 unicorn.

Namun, di tengah perkembangan yang pesat tersebut badai pemutusan hubungan kerja (PHK) melanda startup. Sejumlah startup diketahui melakukan PHK di waktu yang hampir berdekatan. Perusahaan itu sebut saja LinkAja, Zenius Education, Fabelio, dan lain-lain.

Eddi menilai, hal itu terjadi karena likuiditas berkurang. Dia menjelaskan investor sebelumnya jor-joran menyuntik modal ke startup. Namun karena inflasi yang tinggi membuat sejumlah bank sentral menaikkan suku bunga acuannya. Hal itu membuat biaya modal menjadi tinggi dan likuiditas pun berkurang. Kondisi ini membuat investor pilih-pilih untuk menggelontorkan modalnya.

"Kalau likuditas berkurang, berarti kan investor makin pilih-pilih nih. Jadinya startup tadinya gampang mendapat investasi sekarang jadi tidak gampang. Uang yang mereka saat ini miliki harus diirit-irit sampai pendanaan berikutnya," ujarnya.

Di sisi lain, startup biasanya 'bakar uang' untuk menggaet konsumennya. Menurutnya, bakar uang sebenarnya hal yang wajar tapi tergantung dari durasinya. Jika bakar uang berkepanjangan maka akan membuat perusahaan menjadi tidak sehat.

Lanjutnya, dengan suntikan modal yang terbatas tersebut maka startup harus melakukan efisiensi, salah satunya dengan melakukan PHK.

"Misalnya ada uang startup cukup untuk 6 bulan yaitu harus sekarang dipanjangin menjadi 12 bulan. Caranya bagaimana ya melakukan efisiensi. Efisien itu apa aja, contohnya yang mengurangi marketing budget, menunda peluncuran produk baru, menunda ekspansi ke daerah baru, termasuk melakukan PHK," teranganya.

Sementara, pemerhati startup sekaligus Ketua Umum Asosiasi e-Commerce Indonesia periode 2018-2020 Ignatius Untung menjelaskan, model bisnis startup ialah mendapatkan uang dari investor untuk mendorong bisnis. Startup sendiri melakukan bakar duit sejalan dengan harapan investor yang menginginkan pertumbuhan bisnis yang baik.

"Karena gini, startup itu kan business model-nya adalah mendapatkan uang dari investor, lalu didorong untuk dilakukan bisnis. Yang sebelum-sebelumnya nggak bisa disalahkan startupnya sendiri kalau kita tanda kutip bakar uang dan sebagainya, karena juga investor yang ngedorong untuk harus punya growth yang bagus," katanya.

Bagi startup, bakar uang merupakan sesuatu yang bikin 'deg-degan'. Namun, berbagai upaya dilakukan karena menimbang harapan pertumbuhan kinerja yang tinggi.

"Siapa yang mau bakar uang sih, deg-degan juga kita bakar uang. Tapi karena ekspektasi untuk drive performance yang sebegitu tinggi terjadi, akhirnya ya mau nggak mau ya digas. Caranya ngegas gimana? Awalnya pasti nggak bakar uang karena yang namanya ada uang terus habis itu kita hambur-hamburkan dalam tanda kutip itu juga pasti deg-degan," katanya.

"Tapi sudah segala cara termasuk bakar uang, ternyata bakar uang ini dalam beberapa kasus, nggak semua kasus, dalam beberapa kasus terbukti manjur untuk nge-drive growth itu tadi," tambahnya.

Yang jadi masalah, katanya, pertumbuhan ini berkelanjutan atau tidak. Ketika uang itu habis, startup akan meminta suntikan dana lagi ke investor. Nah, kondisi ini yang menunjukkan startup tidak kebal terhadap kondisi ekonomi. Saat ekonomi sedang tidak menentu seperti sekarang, investor pun cenderung menahan dananya.

"Itu yang membuat sebenarnya memang bisnis startup memang tidak kebal amat, sangat tidak kebal terhadap kondisi-kondisi ekonomi seperti ini. Karena ketika kondisi ekonomi seperti ini investor pun nahan uang, jadi mereka pun akan mikir mau suntik apa nggak, 'Ah ntar dulu deh kita pun butuh megang uang sekarang'," terangnya.

Dengan kondisi begitu, startup yang butuh dana pun putar otak ketika dana yang dimiliki seret. Maka itu, untuk bisa bertahan startup mengurangi pengeluaran termasuk pegawai.

"Jadi mereka yang butuh suntikan dana ya mau minta dari mana otomatis harus mikir, gimana caranya saya bisa bertahan hidup sampai pada akhirnya lewat. Cara untuk bisa bertahan untuk badai yang lewat salah satu opsinya memang mengurangi pengeluaran, salah satunya pegawai dan sebagainya," jelasnya.


Hide Ads