Hari ini, 5 Juni diperingati sebagai hari lingkungan hidup sedunia. Sebagai salah satu negara dengan area hutan yang cukup luas, Indonesia tampaknya masih punya PR besar menjaga kelestarian hutan khususnya dari tangan-tangan usil pembalak liar.
Setidaknya itu yang tergambar di salah satu titik perbatasan negara yang areanya banyak diselimuti hutan.
Pemandangan mencekam dijumpai 5 orang prajurit yang kebetulan melintas di kawasan hutan di Kecamatan Sei Manggaris, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Tanah di tengah hutan itu tampak longsor membuat siapapun yang melihat pasti merinding membayangkan bagaimana sebongkah tanah terburai menerjang dan mengubur apa saja yang menghalanginya terjun ke bawah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Temuan longsornya tanah sebeneranya cukup bisa dipahami bila melihat kondisi lingkungan sekitar. Mentari 22 Juli 2021 yang terik bersinar siang itu menjadi saksi saat 5 orang anggota Pos Gabma Sei Manggaris yang dipimpin Komandan Kompi SSK II Satgas Pamtas Yonarhanud 16/SBC, Lettu Arh Angga Guruh menemukan banyak tumpukan kayu olahan yang diduga hasil kegiatan illegal logging, tak jauh dari lokasi mereka menyaksikan area hutan yang mengalami longsor.
"Ini masih baru," cetus Angga sembari menunjuk balok kayu yang tampak masih berwarna coklat kemerahan, tekstur yang agak basah dengan bau getah kayu yang tercium masih sangat segar.
![]() |
Potongan kayu yang ditemukan tampak sangat rapih menunjukkan pelakunya berpengalaman membabat hutan sekaligus mengolahnya di tempat itu juga. Bahkan, tampak lokasi pembalakan liar itu dipasangi palang-palang batang kayu melintang di tanah setiap satu meter membentang di medan menurun di sekujur area penebangan. Palangan batang pohon ini tak dibentangkan tanpa alasan. Ini dijadikan sebagai jalur untuk meluncurkan kayu olahan ilegal itu dengan mudah ke bawah bukit yang jadi titik penjemputan untuk kemudian diangkut oleh truk-truk yang barang tentu juga beroperasi secara ilegal.
Pelakunya tampaknya menyadari keberadaan 5 anggota Satuan Tugas (Satgas) pengaman perbatasan (Pamtas) Batalyon Artileri Pertahanan Udara (Yonarhanud) 16 Sula Bhuana Cakti (SBC) yang tengah berpatroli, lantas mereka bergegas mengambil langkah seribu tanpa sempat mengangkut semua kayu yang baru saja mereka tebang secara ilegal. Jejak keberadaan mereka terlihat dari botol kemasan pelumas yang biasa digunakan untuk motor gergaji mesin atau senso, 'senjata' pembalak liar menjalankan aksinya.
Dugaan aksi pembalakan ilegal ini tentu tak muncul dengan sendirianya atau hanya reka-reka petugas yang menemukannya. Lokasi pembalakan berada di dalam kawasan hutan lindung, berjarak kurang dari 20 meter dari patok perbatasan Indonesia-Malaysia di Bumi Borneo itu. Dengan lokasi itu, jelas penebangan pohon untuk alasan apapun dilarang.
Itu bukan pertama kalinya Satgas Pamtas Yonarhanud 16/SBC mengungkap aksi barbar menggunduli hutan secara ilegal. Sebelumnya pada 29 Juni, tim patroli yang juga dipimpin Lettu Arh Angga Guruh pernah mengungkap temuan serupa. Bahkan, kala itu jejak pembalakan liar lebih kentara yang terlihat adanya tenda yang diduga jadi tempat para pelaku tinggal selama mereka menjalankan misi kotor menggunduli hutan lindung. Tampak beberapa lembar pakaian, rantai gergaji mesin hingga perlengkapan memasak ditinggal para pelaku sebelum keberadaan mereka ditemukan petugas yang berpatroli.
Di belahan lain Kabupaten Nunukan, tepatnya di Desa Mansapa, Kecamatan Nunukan Selatan, Tim Patroli yang terdiri dari 5 orang anggota Satgas Pamtas Yonarhanud 16/SBC Pos Komando Taktis dan 8 orang tim UPTD KPH kabupaten Nunukan juga menemukan tanda-tanda aksi pembalakan liar. Kali ini bukan hanya tenda, tapi ada bangunan semi permanen terbuat dari kayu, berdiri di tengah hutan yang terkonfirmasi sebagai kawasan hutan lindung di sekitar perbukitan Mansapa. Di dalamnya, ditemukan motor gergaji atau senso yang diduga digunakan para pelaku untuk menjalankan aksinya membabat hutan.
Melihat polanya, kejahatan membabat hutan bukan dilakukan pelaku amatiran. Mereka sangat terorganisir dalam menjalankan aksinya. Bagaimana tidak, para pelaku ini tau memilih waktu beraksi, tengah malam kala sebagian besar penduduk tertidur pulas. Memanfaatkan gelapnya malam dan lebatnya hutan untuk mengambil langkah seribu bila aksi mereka tercium aparat.
Bersambung ke halaman selanjutnya.