RI Bisa Terjangkit Distorsi Ekonomi, Apa Itu?

RI Bisa Terjangkit Distorsi Ekonomi, Apa Itu?

Anisa Indraini - detikFinance
Rabu, 08 Jun 2022 10:42 WIB
Pertumbuhan ekonomi RI di kuartal II-2021 diramal tembus 7%. BI menyebut hal ini karena pemulihan di sektor pendukung turut mendorong ekonomi nasional.
Foto: Agung Pambudhy
Jakarta -

Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk meredam kenaikan harga komoditas energi yang terjadi secara global agar tidak langsung dirasakan masyarakat. Cara yang dilakukan adalah tidak menaikkan harga barang yang diatur pemerintah atau administered price seperti Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi dan listrik.

Pengamat Ekonomi Josua Pardede mengatakan langkah itu diambil agar daya beli masyarakat dan proses pemulihan ekonomi tidak terganggu. Meski di sisi lain, hal itu disebut berpotensi menimbulkan distorsi ekonomi.

"Kebijakan pemerintah saat ini untuk menahan harga-harga yang diatur pemerintah memang berpotensi menimbulkan distorsi ekonomi," kata Josua, Rabu (8/6/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Josua menjelaskan distorsi ekonomi yang dimaksud di sini adalah bagaimana ekuilibrium supply dan demand dari sebuah barang terganggu akibat adanya penetapan harga dari pemerintah.

Dia mencontohkan ketika harga minyak goreng ditetapkan Rp 14.000/liter dan tidak dapat naik atau turun sesuai mekanisme pasar, sempat terjadi kelangkaan karena produsen cenderung enggan berproduksi/menjual akibat biaya produksi lebih tinggi dibandingkan harga jual yang ditetapkan pemerintah. Begitu juga yang dikhawatirkan terjadi pada BBM.

ADVERTISEMENT

"Pemerintah memberikan subsidi dan kompensasi bagi Pertamina untuk menahan harga Pertalite. Memang dengan ini Pertamina berpotensi dapat terus menyediakan BBM Pertalite di pasar sehingga dari sisi supply tidak terganggu, namun konsumsi BBM berpotensi naik karena tidak ada disinsentif (dari kenaikan harga) bagi masyarakat untuk berhemat dan mengurangi konsumsi BBM," jelasnya.

Pemerintah dinilai harus memikirkan exit policy dari kebijakan ini dengan menciptakan sebuah sistem agar BBM yang disubsidi lebih tepat sasaran ke depan. Pemerintah sendiri sedang mempersiapkan regulasi untuk mengatur pembelian Pertalite.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Peneliti dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), Fajar Hirawan. Dia mengartikan distorsi ekonomi adalah gangguan akibat adanya ketidakefisienan atau ketidaksempurnaan di pasar.

Apakah dengan menahan harga, pemerintah juga mampu menjaga pasokan barangnya? Hal ini lah yang ditakutkan di mana demand tinggi tanpa dibarengi pasokan yang memadai, akan menyebabkan kelangkaan (ketidakseimbangan pasar).

"Jadi intinya dengan menahan harga, pemerintah harus siap juga menjaga pasokan barangnya. Skema bansos atau operasi pasar bisa menjadi buffer/bantalan/shock absorber bagi masyarakat yang daya belinya perlu disokong," ujar Fajar.

Baca di halaman selanjutnya untuk mengetahui bahayanya jika pemerintah menahan harga terlalu lama.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Abdul Manap Pulungan menilai keputusan pemerintah untuk menahan harga komoditas seperti BBM sebenarnya tepat. Pasalnya jika itu tidak dilakukan, ekonomi akan sulit dan pertumbuhan yang ditargetkan sekitar 5% akan gagal dicapai.

"Keputusan tidak menaikkan harga BBM sebetulnya saya pikir tepat karena ketika harga BBM dinaikkan maka dampaknya akan banyak, baik terhadap transportasi, industri itu kan sangat signifikan," bebernya.

Di sisi lain, bahaya dari kebijakan tersebut adalah ancaman terjadinya kenaikan harga berkali-kali lipat ke depan hingga menyebabkan shock di masyarakat. Hal itu bisa terjadi jika fiskal pemerintah sudah tak mampu lagi menahan dampak kenaikan harga yang terjadi secara global.

"Kalau pemerintah tidak mampu lagi menahan dampak kenaikan harga minyak dunia, maka nanti bisa jadi kenaikan itu akan berulang kali di kemudian hari. Dulu waktu jaman SBY sempat juga kan naik beberapa kali setelah kenaikan pertama," imbuhnya.

Pertanyaannya, sampai kapan pemerintah mampu menahan lonjakan harga energi dunia dengan terus memberi suntikan subsidi? Tidak ada yang tahu pasti, diharapkan agar perang Rusia-Ukraina segera berakhir agar beban APBN tidak semakin berat dan sehat.

"Kita lihat sih margin antara asumsi ICP di APBN itu kan US$ 63 versus sekarang harga minyak di US$ 120 itu sebenarnya marginnya cukup lebar ya karena satu sisi ketika harga minyak dunia naik ada penerimaan yang diperoleh pemerintah. Kalau misalnya marginnya semakin lebar, sementara biaya yang dikeluarkan pemerintah juga semakin tinggi, saya pikir pemerintah pada akhirnya akan menaikkan harga BBM," tuturnya.



Simak Video "Sri Mulyani Beri Kabar Baik untuk Ekonomi RI"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads