Munculnya rumah makan Padang yang menjual hidangan babi viral di media sosial. Banyak masyarakat yang protes, khususnya masyarakat minang yang menganggap rendang babi sebagai bentuk penghinaan.
Menurut akademisi dan pakar bisnis Profesor Rhenald Kasali, penamaan atau branding dalam bisnis kuliner punya etika yang sangat ketat. Apalagi jika hal tersebut menyangkut istilah babi.
Ia menyebut modifikasi makanan sebagai hal yang lumrah. Namun, jika itu menyangkut babi bisa menuai kontroversi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tapi kalau mendengar babi, itu jadi sensitif," kata Rhenald kepada detikcom, Jumat (10/6/2022).
"Masyarakat muslim sensitif dengan kata babi, jangan memancing keributan," katanya menambahkan.
Rhenald menyarankan, masyarakat yang membuat rendang menggunakan daging babi tidak perlu menggunakan nama rendang. Dan masyarakat muslim yang mengetahui produk tersebut daging babi tidak perlu mengkonsumsinya.
Rendang menjadi kebanggaan masyarakat Minang, termasuk masyarakat Minang keturunan Tionghoa. Ketika rendang babi dijadikan branding memang dapat menyinggung sebagian masyarakat. Tapi bagi orang-orang keturunan Tionghoa, rendang babi tidak akan sensitif.
"Tapi kalau itu branding, dibikin restoran padang nonhalal dengan daging babi, itu mungkin akan menyinggung," pungkasnya.
Rhenald menjelaskan hal yang sensitif di Indonesia memang menyangkut makanan, khususnya halal-haram. Ini terjadi sejak lama dan menjadi sesuatu yang rawan dan berbahaya.
Isu lemak babi pernah menyeruak di Indonesia tahun 1980-an. Banyak produk seperti sabun, kecap, mie instan terkena dampak dari isu tersebut. Akibatnya ada beberapa pabrik yang harus tutup karena karena turunnya pembelian.
Rhenald menyayangkan banyak pihak sengaja menggoreng isu halal-haram sehingga menimbulkan kecurigaan di masyarakat. Ia pun meminta masyarakat untuk saling menjaga.
(upl/upl)