Sri Lanka sedang dilanda kebangkrutan. Ekonomi negara itu benar-benar runtuh dan jauh lebih suram dari sekadar kekurangan bahan bakar minyak (BBM), gas, listrik dan makanan.
"Kami sekarang melihat tanda-tanda kemungkinan jatuh ke titik terendah," kata Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe dikutip dari Bloomberg, Kamis (23/6/2022).
Dikutip dari BBC, permasalahan di Sri Lanka terjadi karena cadangan mata uang asingnya hampir habis. Hal itu membuat negara tidak mampu membayar impor makanan pokok sampai BBM yang berdampak pada kelangkaan dan harga yang tinggi.
Pemerintah menyalahkan situasi ini karena pandemi COVID-19 yang menghentikan kunjungan turis, yakni penghasil mata uang asing negara tersebut. Tak cuma itu, para turis ketakutan karena serangkaian serangan bom mematikan di gereja-gereja tiga tahun lalu.
Di sisi lain, banyak ahli mengatakan penyebab kondisi ini terjadi karena salah urus ekonomi. Salah satu yang utama adalah pada akhir 30 tahun perang saudara di 2009, Sri Lanka memilih lebih fokus pada pasar domestik daripada mengekspor ke luar negeri. Jadi pendapatan dari ekspor rendah, sementara tagihan impor terus bertambah.
Pemerintah juga mengumpulkan utang dalam jumlah besar untuk mendanai proyek infrastruktur yang tidak perlu. Pada akhir 2019, Sri Lanka memiliki cadangan mata uang asing sebesar US$ 7,6 miliar, namun pada Maret 2020 hanya menjadi US$ 2,3 miliar.
Lebih lanjut, ketika berkuasa pada 2019, Presiden Gotabaya Rajapaksa memutuskan untuk memotong pajak. Ini berarti pemerintah memiliki lebih sedikit uang untuk membeli mata uang asing di pasar Internasional untuk meningkatkan cadangannya.
Kekurangan mata uang Sri Lanka menjadi masalah yang sangat besar pada awal 2021. Baca lanjutannya di halaman selanjutnya.
Simak juga Video: Pengunjuk Rasa Dobrak Pembatas di Kediaman Rajapaksa
(aid/dna)