Efek Berantai Larangan Ekspor Berujung Jatuhnya Harga Sawit Petani

Efek Berantai Larangan Ekspor Berujung Jatuhnya Harga Sawit Petani

Kholida Qothrunnada - detikFinance
Rabu, 29 Jun 2022 13:22 WIB
Pekerja membongkar muat Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit ke atas truk di Mamuju Tengah , Sulawesi Barat, Rabu (11/08/2021). Harga TBS kelapa sawit tingkat petani sejak sebulan terakhir mengalami kenaikan harga dari Rp1.970 per kilogram naik menjadi Rp2.180  per kilogram disebabkan meningkatnya permintaan pasar sementara ketersediaan TBS kelapa sawit berkurang. ANTARA FOTO/ Akbar Tado/wsj.
Foto: ANTARA FOTO/AKBAR TADO

Gulat mengatakan, pengusaha diwajibkan membayar biaya Flush Out (FO) atau biaya percepatan ekspor sebesar US$ 200 meski sudah memenuhi syarat DMO.

"Tetapi di KPBN diterjemahkan 'DAN'. Berarti dijumlah semua ditambah (biaya FO dan bea keluar/BK)," tutur dia.

Lantaran kondisi itu, ada beban tambahan biaya ekspor sawit yang langsung dirasakan petani. Karena dalam praktiknya, tambahan bea ekspor tersebut langsung dibebankan ke petani dalam bentuk potongan harga beli TBS.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Mampuslah harga CPO ketika tender," tegasnya.

Benar saja, kini petani merana karena TBS sawitnya dihargai sangat rendah.

ADVERTISEMENT

"Kalau saya antar 1.000 kg, hanya dibayar Rp 750. Makanya petani putus asa, stres mau ekspor saja," tandas dia.

Tersendatnya aktivitas ekspor juga turut berpengaruh pada penurunan harga di tingkat petani.

Menurut data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), stok CPO akhir bulan April 2022 adalah 6,103 juta ton, melonjak dibandingkan Maret 2022 yang 5,683 juta ton dan 3,269 juta ton di April 2021. Catatan itu menjadikan stok akhir April sebagai angka stok tertinggi sejak 6 tahun terakhir.

Melonjaknya stok CPO nasional tersebut tak lain diakibatkan oleh masih tersendatnya proses ekspor. Masih mengutip data GAPKI, ekspor minnyak sawit nasional pada April 2022 turun jadi 2,089 juta dibandingkan April 2021 yang mencapai 2,636 juta ton. Meski sedikit baik dibandingkan Maret 2022 yang tercatat 2,018 juta ton.

Di sisi lain, total konsumsi lokal hanya 1,752 juta ton. Akibatnya tangki-tangki penyimpanan CPO nasional penuh dan tak mampu lagi menyerap sawit petani.

Belum lagi, ada kendala dalam proses penyaluran CPO menjadi minyak goreng lantaran aturan dalam aplikasi SIMIRAH. Bagi pabrik rafinasi minyak goreng, sulit untuk menjual minyak goreng, karena syarat sistem SIMIRAH yang mengharuskan untuk melampirkan KTP, permintaan lokal tidak banyak.

Sehingga tangki penuh dan pembelian ke Pabrik Kelapa Sawit tersendat.

Tersendatnya pembelian oleh pabrik rafinasi, menyebabkan tangki cpo penuh. Sehingga banyak pabrik yang membatasi pembelian atau penerimaan TBS petani. Atau bahkan menurunkan harga beli dan tidak terima sama sekali.

Berkaca dari permasalahan di atas, Gulat berharap ada relaksasi aturan ekspor sawit nasional.

"Harus gerak cepat, dengan membuka ekspor, karena produksi harian CPO di Indonesia melebihi konsumsi Minyak Goreng di Indonesia. Jika ditunda maka akan terjadi kelebihan stok yang menyebabkan tangki-tangki timbun penuh, sehingga Pabrik Kelapa Sawit tidak memungkinkan untuk menyerap TBS petani," sebut dia.

Bahkan ia berharap pemerintah mencabut saja larangan ekspor saat ini.

"Presiden jelas cabut larangan ekspor karena ingat nasib 17 juta pekerja sawit," tegas dia.

Ia pun meminta pemerintah untuk mencabut aturan patokan harga dalam nageri atau domestic price obligation (DPO) karena dianggap sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini di mana harga tender CPO di pasar internasional saat inisudah turun menjadi Rp 8.000 dari sebelumnya Rp 15.000.

"Ngapain dibuat DPO kalau CPO sudah Rp 8.000. Itu dibuat ketika Rp 15. Sekarng Rp 8.000, buang aturan itu," sebut dia.


(dna/dna)

Hide Ads