Hal senada disampaikan Wakil Ketua DPD RI Mahyudin. Menurutnya, penghapusan pungutan ekspor sawit bisa jadi salah satu solusi untuk mendongkrak harga TBS sawit di tingkat petani yang saat ini tengah anjlok cukup dalam.
Intervensi pemerintah juga diperlukan sebagai regulator, dengan menghentikan sementara pungutan eskpor dan bea keluar (BK) CPO. "Setidaknya langkah ini sesuai dengan kajian SPKS, di mana penurunan harga TBS sawit saat ini diakibatkan oleh tingginya pungutan ekspor yang dikumpulkan badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dan besarnya Bea Keluar (BK) CPO," tutur Mahyudin dalam keterangan terpisah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia juga menambahkan sejumlah solusi lain. Pertama, berperan sebagai penjaga persediaan. Pemerintah perlu melakukan intervensi untuk menjaga stabilitas harga sawit, dengan menjaga persediaan.
"Di mana, ketika harga sawit turun pemerintah harus menyiapkan semacam badan usaha yang memilki kewenangan seperti halnya Bulog (Badan Urusan Logistik) dalam menstabilkan harga beras di pasaran," tutur dia.
Kedua, cara mengatasi kisruh industri sawit ini bisa dilakukan dengan langkah pemerintah memperkuat BUMN perkebunan seperti PTPN, yang bertugas menyiapkan lahan pengolahan minyak goreng di tiap pulau se-Indonesia.
Ketiga, pemerintah perlu menjaga keseimbangan kepemilikan lahan sawit.
"Maka intervensi pemerintah sebagai stabilisator dan regulator harga sawit perlu dilakukan, karena sawit merupakan industri unggulan Indonesia dan menjadi salah satu sumber devisa terbesar negara. Untuk itulah, keberadaan infrastruktur dan aturan penunjang intervensi negara dalam indstri sawit perlu diperhatikan, dalam menstabilkan harga minyak goreng dan harga TBS. Sehingga pemerintah tidak hanya sekedar melakukan kebijakan buka dan tutup kebijakan ekspor CPO dan turunannya," tandasnya.
(hal/dna)