Mengais Asa di Puing-puing Kejayaan Pantura

Liputan Khusus

Mengais Asa di Puing-puing Kejayaan Pantura

Herdi Alif Al Hikam - detikFinance
Minggu, 17 Jul 2022 13:00 WIB
Perekonomian di Jalur Pantai Utara (Pantura) tepatnya sepanjang Cikampek-Cirebon telah redup kejayaannya. Padahal, jalan panjang yang menghubungkan daerah-daerah di utara pulau Jawa ini sempat jadi primadona.
Foto: Dikhy Sasra
Jakarta -

Jalur Pantai Utara alias Pantura tak lagi jaya seperti dulu. Pamor Pantura meredup setelah kemunculan Tol Trans Jawa. Jalur yang pernah jadi jalan utama di Pulau Jawa ini langsung sepi setelah banyak kendaraan berpindah ke jalan tol.

Redupnya kejayaan Pantura telah terjadi sejak tahun 2015 ketika Tol Cikopo Palimanan alias Cipali diresmikan. Sepinya Jalur Pantura makin jadi setelah tol Trans Jawa dari Merak ke Banyuwangi tersambung, tol Cipali hanyalah salah satu bagiannya saja. Kawasan Pantura kini sepi, aktivitas ekonominya pun tak lagi menggeliat pesat seperti dahulu.

Meski begitu, nyatanya masih banyak pelaku usaha kecil menengah yang bertahan mengais penghidupan di sisa-sisa kejayaan Pantura. Apen, salah satunya, pemilik bengkel Tiga Putra Motor di kawasan Lohbener, Indramayu ini masih mengoperasikan bengkelnya yang sudah dibuka sejak tahun 90-an.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketika ditemui detikcom, Apen sedang menyulut rokoknya sambil duduk menatap jalan dan lalu lalang kendaraan. Matanya menatap kosong ke jalan sambil sesekali bicara dengan pekerjanya di bengkel. Bengkel Apen pun sepi, saat didatangi tak ada satupun kendaraan yang jadi 'pasien' dan sedang ditangani olehnya.

ADVERTISEMENT
Perekonomian di Jalur Pantai Utara (Pantura) tepatnya sepanjang Cikampek-Cirebon telah redup kejayaannya. Padahal, jalan panjang yang menghubungkan daerah-daerah di utara pulau Jawa ini sempat jadi primadona.Perekonomian di Jalur Pantai Utara (Pantura) tepatnya sepanjang Cikampek-Cirebon telah redup kejayaannya. Padahal, jalan panjang yang menghubungkan daerah-daerah di utara pulau Jawa ini sempat jadi primadona. Foto: Dikhy Sasra

Plang nama bengkel Apen sampai nampak sudah usang bagai memperlihatkan nasib bengkelnya. Tiang plangnya sudah karatan, bahkan poster yang ada di plang namanya sudah robek, dan pudar warnanya.

Ketika diajak berbincang, sepi menjadi hal pertama yang diungkap Apen saat memulai kisahnya. Semenjak ada jalan tol Trans Jawa menurutnya semua berbeda. Kawasan yang dulunya ramai kini jadi sepi.

"Ya jelas nggak kayak dulu, dulu mah ramai. Beda lah, jauh. Kalau bengkel, kita mending aja nggak ada basi apa-apanya, ya kalau rumah makan kan pada basi, pada tutup," cerita Apen saat berbincang dengan detikcom di depan bengkelnya.

Bersambung ke halaman selanjutnya.

Sebagai perbandingan saja, saat sebelum ada jalan tol Trans Jawa momen mudik lebaran jadi favorit Apen. Namun sekarang, mudik lebaran pun tak menghasilkan apa-apa karena hampir semua kendaraan lewat tol. Apen cuma dapat sisanya, 'pasien' pemotor yang tak banyak memberikan keuntungan.

Padahal sebelum era tol Trans Jawa dan Jalur Pantura masih ramai, setiap momen mudik lebaran Apen bisa mendapat banyak 'pasien'. Tak jarang ada mobil yang sampai turun mesin di bengkelnya. Biaya servis dan onderdil yang besar bisa memberikan dirinya keuntungan besar.

"Sekarang kalau mudikan tuh malah sepi, mobil-mobil nggak ada yang lewat sini, lewat tol. Paling sepeda motor doang, untungnya sedikit. Kalau dulu ya, waktu mudikan belum ada Cipali mah seenggaknya tuh ada yang sampai turun mesin di sini," kisah Apen.

Perekonomian di Jalur Pantai Utara (Pantura) tepatnya sepanjang Cikampek-Cirebon telah redup kejayaannya. Padahal, jalan panjang yang menghubungkan daerah-daerah di utara pulau Jawa ini sempat jadi primadona.Perekonomian di Jalur Pantai Utara (Pantura) tepatnya sepanjang Cikampek-Cirebon telah redup kejayaannya. Padahal, jalan panjang yang menghubungkan daerah-daerah di utara pulau Jawa ini sempat jadi primadona. Foto: Dikhy Sasra

Apen juga mengakui banyak sekali suku cadang dan onderdil yang tak laku-laku. Bila dilihat dari etalase bengkelnya memang benar, banyak sekali suku cadang bertumpuk bahkan sampai berdebu.

Bicara pendapatan, Apen sudah enggan berhitung. Saat ditanya dia cuma bilang setengah pendapatannya bahkan lebih telah berkurang setelah kemunculan Tol Trans Jawa. "

"Omzet ya jauh beda sekali. Nggak bisa lagi kita hitung berapa-berapanya, kadang banyak, kadang dikit. Pokonya beda. Ya kalau setengahnya ada, kayaknya lebih lah turunnya," cerita Apen.

Apen kini bertahan dengan cara menyiasati sepinya bengkel dengan menyambi bekerja sebagai petani. Bila tidak begitu, menurutnya tak bisa lagi dia bertahan hidup. Ladangnya tak luas-luas amat, cuma punya sendiri.

Perekonomian di Jalur Pantai Utara (Pantura) tepatnya sepanjang Cikampek-Cirebon telah redup kejayaannya. Padahal, jalan panjang yang menghubungkan daerah-daerah di utara pulau Jawa ini sempat jadi primadona.Perekonomian di Jalur Pantai Utara (Pantura) tepatnya sepanjang Cikampek-Cirebon telah redup kejayaannya. Padahal, jalan panjang yang menghubungkan daerah-daerah di utara pulau Jawa ini sempat jadi primadona. Foto: Dikhy Sasra

Pagi dia ke sawah, siang ke sore baru lah menjalankan bengkelnya. Hasilnya lumayan, Apen menjelaskan dengan modal Rp 7-8 juta sekali tanam dirinya bisa mendapatkan Rp 13-15 juta saat menjual hasil panennya.

"Yah lumayan buat nambah-nambah bengkel. Kalau kita malas nggak dapat apa-apa," tegas Apen.

Bersambung ke halaman selanjutnya.

Selain Apen, masih ada Herman yang juga bertahan hidup di sisa-sisa kejayaan Pantura. Lelaki paruh baya ini memiliki warung kecil-kecilan di daerah Patokbeusi, Subang. Herman menjajakan suguhan mie ayam sederhana, minuman dingin, kopi, hingga layanan hiburan berupa karaoke. 'Mie Karaoke', begitu lah Herman menamakan warung kecilnya itu.

Usahanya itu sudah berjalan sejak tahun 1999. Warungnya berbentuk bangunan semi permanen dengan mayoritas material kayu. Letaknya persis di pinggir jalan Pantura. Dia mengaku tanah yang digunakan adalah tanah garapan, jadi ada risiko warungnya bisa digusur pemerintah.

Meski begitu, Herman tetap menggantungkan hidupnya dari warung tersebut. Namun, saat ini warungnya tak lagi memberikan keuntungan yang besar. Pendapatannya anjlok ketika Jalur Pantura ditinggal penggunanya ke jalan tol Trans Jawa.

"Ya kurang lah pemasukan sekarang mah. Untuk sekarang ini mah ya asal bertahan hidup aja buat makan aja," kata Herman saat berbincang dengan detikcom di warungnya.

Omzet Herman turun pesat sejak ada Tol Trans Jawa. Dia mengatakan apabila dulu seharinya bisa mendulang Rp 2-3 juta dari semua usahanya itu, saat ini angka ratusan ribu pun susah sekali didapatkan.

"Sekarang mah nggak bisa janjiin. Saya paling Rp 500.000 sehari kalau ada yang mau karaoke. Kalau nggak ya di bawah itu aja," sebut Herman.

Perekonomian di Jalur Pantai Utara (Pantura) tepatnya sepanjang Cikampek-Cirebon telah redup kejayaannya. Padahal, jalan panjang yang menghubungkan daerah-daerah di utara pulau Jawa ini sempat jadi primadona.Perekonomian di Jalur Pantai Utara (Pantura) tepatnya sepanjang Cikampek-Cirebon telah redup kejayaannya. Padahal, jalan panjang yang menghubungkan daerah-daerah di utara pulau Jawa ini sempat jadi primadona. Foto: Dikhy Sasra

Menurutnya, jalan Pantura makin sepi. Apalagi ditambah dengan kondisi sekarang di saat ekonomi sedang sulit dihantam pandemi. Selama ini pun banyak pelanggannya yang tak lagi berkaraoke di tempatnya.

Pelanggan-pelanggan yang mayoritas didapatkan dari sopir truk atau angkutan lainnya kini sedang mengalami kesulitan ekonomi. Padahal, kontribusi pendapatan dari layanan karaoke sangat besar pada usaha milik Herman.

"Ya ekonomi sulit, mereka juga daripada hiburan, dapat uang sedikit buat keluarganya paling," ujar Herman.

Untuk usaha mie ayam dan warung kopi kecil-kecilannya pun saat ini sepi. Dulu, masih banyak orang yang singgah saat Jalur Pantura jadi jalan utama untuk perjalanan di Pulau Jawa. Bahkan, kalau musim mudik Herman bisa mendulang untung berkali-kali lipat.

Dalam seminggu saja, duit Rp 10 juta lebih bisa dikantongi Herman saat musim mudik. Saat ini musim mudik pun tak menghasilkan banyak keuntungan, memang ada kenaikan namun tak signifikan.

"Kalau dulu sebelum tol, lumayan satu minggu Rp 10 juta bersih. Layanin orang mudikan aja. Makan ke sini minum ke sini. Sekarang mah biar orang mudikan juga nggak ada duitnya. Naik dikit-dikit aja pendapatan saya," ujar Herman.

Untuk menambah pundi-pundi pendapatannya, kadang kala Herman juga jadi sopir. Kebetulan dia punya mobil losbak. Apapun dia angkut di mobilnya sesuai permintaan. Kadang barang, pernah juga dipakai angkut penumpang. Di warungnya pun dia pasangkan poster kecil bertuliskan 'Terima Jasa Angkut'.

Sudah susah, usaha Herman juga harus berhadapan pungutan liar kelas ormas. Katanya, pungutan-pungutan semacam ini bisa bikin usahanya tekor. Bayangkan saja, pungutan dilakukan dari jangka waktu harian, mingguan, hingga bulanan.

Setiap bulan akan ada yang menagih Herman dengan nominal Rp 100.000. Kemudian setiap minggu ada lagi pungutan sebesar Rp 50.000. Kadang-kadang, ada juga pungutan harian sebesar Rp 10.000.

"Jangankan bayar pungutan, orang makan aja susah jualan susah," keluh Herman.

Di samping warung Herman masih banyak berderet lapak semacam Herman, warung kecil plus layanan karaoke. Namun kata Herman, lapak-lapak itu sudah mulai banyak yang tutup. Entah data dari mana, dia bilang ada 50% warung semacam miliknya tutup.

Buka halaman selanjutnya.

Salah satunya adalah warung 'Nella Karoke', letaknya persis di samping lapak Herman. Warung itu nampak tutup, dan bangunannya yang semi permanen ditinggalkan begitu saja tak terurus.

Rizal, pria paruh baya yang tinggal di samping warung itu mengaku sebagai penjaga Nella Karoke. Katanya, warung itu milik saudaranya, saat masih buka Rizal jadi pengelolanya. Warung telah tutup semenjak jalan tol Trans Jawa mulai dibuka karena sepi pengunjung.

"Tutup ini dari 2019, pas Cipali dibuka. Sepi sekarang susah pengunjungnya. Sebelum Cipali sama COVID-19 mah rame. Nggak ada yang mau berhenti orang sekarang," kata Rizal saat berbincang dengan detikcom.

Saat warung masih buka, dia digaji sampai Rp 500.000 per hari. Namun kini, Rizal pindah profesi jadi perawat ayam sambil menjaga bangunan Nella Karoke.

Saat ini pria itu tinggal di kandang ayam yang ada di samping bangunan Nella Karoke. Dia diamanatkan untuk menjaga dan merawat ayam jago, katanya ayam-ayam yang dirawat adalah ayam petarung untuk diadu.

Dia mendapatkan uang saat ayam-ayam yang dia rawat diadu dan menang. Kalau tidak menang, maka tak dapat apa-apa. Rizal juga setiap minggu diberikan uang perawatan, dari situ dia bisa membaginya untuk biaya hidup.

"Saya rawat ayam orang aja, dikasih duit perawatan Rp 100.000 kadang lebih. Di situ saya bagi buat makan sehari-hari. Kalau ayam di sini menang, dapat bagian," jelas Rizal.

Dampak tol Trans Jawa terhadap ekonomi Pantura memang sangat berasa. Bahkan bukan cuma kepada pengusaha kecil macam Apen dan kawan-kawan, Juandi seorang supervisor SPBU di kawasan Mundusari, Subang juga ikut mengeluhkan dampak dari Tol Trans Jawa yang membuat Jalur Pantura jadi sepi. Bisnis yang dilakukan Juandi bisa dibilang usaha menengah besar.

Menurut kisahnya, semenjak Tol Trans Jawa dibuka, pembeli bensin di tempatnya makin berkurang. Penjualan pun sempat menurun. Pasalnya, sebelum era Tol Trans Jawa banyak perusahaan otobus yang melakukan kerja sama pembelian bensin di SPBU yang dikelolanya.

Nah saat ini semua bus 'lari' ke jalan tol. Juandi bilang pihaknya cuma dapat sisa, dampak dari tol kepada ekonomi Pantura benar-benar tak terhindarkan menurutnya. Pembeli bensin di tempatnya kini cuma kendaraan warga sekitar dan juga angkutan barang. Untuk angkutan barang pun perlu usaha tambahan dengan membuat kerja sama kontrak penyediaan bensin.

"Dampaknya memang tak terhindarkan lagi ya Cipali itu. Memang berdampak banget kita cuma dapat sisa-sisaan lah istilahnya," kata Juandi saat ditemui detikcom di kantornya.

Juandi bilang omzet SPBU turun sampai 20% saat ini bila dibandingkan dengan kondisi saat sebelum ada Tol Trans Jawa.

Mirisnya lagi adalah saat momen mudik lebaran, khususnya di tahun ini pada saat ekonomi mulai bergeliat setelah pandemi. Saat memasukinya momen mudik, pihaknya sudah bersiap dengan menaikkan target penjualan. Nyatanya, target itu tak sedikitpun tercapai. Kenaikan penjualan memang terjadi namun tak signifikan.

Pasalnya, yang lewat Jalur Pantura hanya lah sepeda motor alias kendaraan roda dua. Padahal, harapannya adalah banyak kendaraan roda empat alias mobil yang masih memilih Jalur Pantura untuk hindari macet di tol.

Kendaraan roda empat lebih besar pembeliannya daripada kendaraan roda dua, dengan begitu harapannya omzet bisa bertambah. Sayangnya, kendaraan roda empat yang lewat Jalur Pantura justru sedikit.

"Terakhir mudik dibolehkan Alhamdulillah, memang bisa ramai di jalan. Cuma kemarin itu nggak ada roda 4, motor semua. Roda 4 full tol. Padahal kan harapan kita roda 4 kan ya. Target penjualan bensin naik tapi ternyata nggak seberapa naiknya," kisah Juandi.

Cerita paling sedih adalah Juandi harus merelakan 'mesin' pencetak uangnya untuk ditutup imbas dari sepinya Jalur Pantura saat Tol Trans Jawa dibuka. SPBU yang dikelola Juandi, dahulu punya aset berupa rumah makan yang cukup ramai pengunjungnya.

Semenjak ada Jalan Tol Trans Jawa yang membuat Jalur Pantura sepi rumah makan itu langsung ditutup. Juandi menjelaskan di masa jayanya, andalan rumah makan di Jalur Pantura sebetulnya adalah kerja sama dengan perusahaan otobus. Bus-bus akan mampir, kemudian memberikan waktu bagi penumpangnya untuk istirahat dan makan siang.

Namun, dengan adanya tol Trans Jawa, bus beralih ke jalan tol. Istirahat dan makan siang pun dilakukan di rest area yang ada di dalam jalan tol. Rumah makan di Pantura pun terpaksa tutup karena kehilangan pengunjung.

"Ini kelolaan kita langsung. Itu lahan bangunan kita kelola sendiri. Sebelumnya rumah makan itu kita kerja sama dengan bus-bus. Memang dampak Cipali, pas Tol Cipali buka 2015-an, perekonomian rumah makan di Subang dan Pantura itu banyak tutup. Karena bus itu kan pindah ke tol semua tadinya di Pantura," curhat Juandi.

Cukup berat rasanya bagi Juandi untuk menutup rumah makan. Meskipun usaha SPBU bukan usaha kecil, tapi menurut Juandi pemasukan tambahan dari rumah makan cukup besar bagi omzet SPBU-nya. Saat rumah makan tutup, 15% potensi pendapatan lenyap.


Hide Ads