APPKSI Desak Jokowi Cabut Bea Keluar Ekspor CPO karena Dinilai Beban Petani

APPKSI Desak Jokowi Cabut Bea Keluar Ekspor CPO karena Dinilai Beban Petani

Achmad Dwi Afriyadi - detikFinance
Selasa, 26 Jul 2022 17:35 WIB
Sejumlah truk pengangkut Tanda Buah Segar (TBS) kelapa sawit mengantre untuk pembongkaran di salah satu pabrik minyak kelapa sawit milik PT.Karya Tanah Subur (KTS) Desa Padang Sikabu, Kaway XVI, Aceh Barat, Aceh, Selasa (17/5/2022). Harga jual Tanda Buah Segar (TBS) kelapa sawit tingkat petani sejak dua pekan terakhir mengalami penurunan dari Rp2.850 per kilogram menjadi Rp1.800 sampai Rp1.550 per kilogram, penurunan tersebut pascakebijakan pemeritah terkait larangan ekspor minyak mentah atau crude palm oil (CPO). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/rwa.
Foto: ANTARA FOTO/SYIFA YULINNAS
Jakarta -

Tekanan yang diterima petani sawit imbas larangan ekspor yang diterapkan pemerintah tampaknya belum reda. Serapan tandan buah segar (TBS) di tingkat petani masih rendah dan harganya pun belum seperti yang diharapkan. Padahal, mereka harus menanggung biaya produksi yang tak sedikit kala harga sawit tengah tinggi-tingginya.

Petani sawit yang tergabung dalam Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia (APPKSI) mendesak pemerintah untuk mencabut bea keluar untuk produk minyak sawit atau crude palm oil (CPO).

Dengan pencabutan bea keluar, diharapkan ada stimulus bagi pabrik untuk melakukan ekspor dan memberi ruang bagi tangki-tangki penyimpanan CPO sehingga pabrik bisa kembali menyerap TBS sawit petani.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Cabut bea keluar CPO supaya bisa meningkatkan harga TBS Petani, meningkat tidak seperti saat ini," kata Ketua Umum APPKSI Marrie Andi Muhammadiyah saat berbincang dengan detikcom, Selasa (26/7/2022).

Ia menyebut, memang saat ini pemerintah sudah menghapuskan sementara pungutan ekspor sawit atau levy hingga akhir Agustus 2022. Sayang, sambung dia, kebijakan itu belum cukup ampuh menggenjot ekspor sehingga serapan sawit di tingkat petani juga masih rendah.

ADVERTISEMENT

"Walaupun pungutan ekspor atau levy sudah nol persen, tetapi belum bisa mengangkat harga TBS sebab bea keluar masih sangat tinggi," beber dia.

MA Muhammadiyah melanjutkan, lantaran harga CPO dunia yang rendah saat ini, kini beban bea keluar harus ditanggung oleh petani. Akibatnya, harga beli TBS petani oleh pabrik jadi rendah.

"Besarannya (bea keluar) US$ 288/ton dan ini dibebankan pada harga TBS petani. Di mana, sebelum harga CPO tertinggi pernah di kisaran US$ 2.000/MT sekarang kan jatuh di kisaran US$ 1.185/MT. Nah jika dikenakan bea keluar sebesar US$ 288/MT artinya harganya hanya US$ 897/Mt. Nah, yang US$ 288 dibebankan pada harga TBS petani," beber dia.

Dengan demikian, cukup alasan bagi pemerintah untuk mempertimbangkan usulan penghapusan bea keluar dengan harapan bisa mendongkrak harga TBS petani yang saat ini masih jauh dari kata ideal.

"Harga TBS petani masih jauh dari harapan karena PKS (pabrik kelapa sawit) juga masih sedikit yang mau menampung TBS petani akibat tangki-tangki masih penuh," tandas dia.




(dna/zlf)

Hide Ads