Bersih-bersih dan pemberantasan korupsi yang dilakukan Menteri BUMN Erick Thohir terhadap BUMN mendapatkan apresiasi tersendiri dari Presiden Joko Widodo.
Bahkan dalam saat pidato kenegaraan di Sidang Tahunan MPR dan Sidang bersama DPR dan DPD di Gedung Nusantara, Presiden Jokowi menyatakan kasus korupsi ASABRI, Garuda dan Jiwasraya berhasil dibongkar dan pembenahan total tengah dijalankan oleh Erick.
Guru Besar Fakultas Hukum Unpad Bandung, Pantja Astawa, menilai keberhasilan penanganan korupsi yang dikatakan Presiden Jokowi pada Sidang Tahunan MPR tersebut sebagai penegakan hukum yang telah dilakukan oleh aparat penegak hukum. Namun pernyataan Presiden Jokowi tersebut dinilai Gede masih menyisakan permasalahan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penegakan hukum yang saat ini dilakukan pada kasus korupsi di BUMN apakah sudah dilakukan secara proposional atau belum. Sebab untuk menentukan korupsi atau tidak di BUMN, harus mengacu pada UU BUMN dan UU tindak pidana korupsi.
Jika melihat UU BUMN pasal 11 disebutkan, BUMN merupakan badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas yang tunduk pada UU Perseroan Terbatas. Jika melihat UU Tindak Pidana Korupsi pasal 14 disebutkan bahwa BUMN memiliki kekhususan sitimatis (lex specialis).
"Karena kekayaan Negara sudah dipisahkan, maka tidak bisa serta merta kerugian yang terjadi di BUMN dikatakan sebagai tindak pidana korupsi. Sebab di dalam UU BUMN tidak dikatakan, kerugian atau pelanggaran yang terjadi di BUMN merupakan tindak pidana korupsi. Kalau tidak disebutkan di UU BUMN kerugian BUMN merupakan tindak pidana korupsi, maka tak bisa diberlakukan UU Tindak Pidana Korupsi. Namun faktanya tidak demikian. Kerugian yang terjadi di BUMN langsung dimasukan dalam kasus korupsi," ungkap Gede.
Lanjut Gede, di BUMN memiliki organ komisaris, direksi dan pemegang saham. Pemegang saham identik dengan pemilik perseroan. Sebagai perseroan terbatas BUMN merupakan badan hukum perdata. Sehingga karena kekayaan BUMN merupakan kekayaan yang terpisah dari pemegang saham. Kekayaan terpisah ini yang dijadikan modal BUMN untuk menggembangkan usahanya.
"Karena sudah dijadikan kekayaan terpisah, maka setiap kerugian di BUMN tidak ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi. Jika rugi maka itu risiko bisnis. Sepanjang direksinya memiliki itikat baik (business judgement rule) dan prinsip kehati-hatian. Semua itu dilindungi UU sehingga kerugian yang terjadi di BUMN tak bisa dituntut sebagai tindak pidana korupsi," ungkap Gede.
Jika management tidak memiliki itikat baik dan prinsip kehati-hatian, menurut Gede bukan berarti management BUMN tidak bisa diproses secara hukum. Namun yang berlaku adalah hukum adminsitratif dengan risiko management diberhentikan dalam RUPS LB atau bisa dituntut untuk menggembalikan kerugian yang terjadi di BUMN.
"Setiap tahun BUMN melakukan mekanisme RUPS. Komisaris sebagai perwakilan Negara bisa mengusulkan pergantian direksi BUMN. Sehingga jangan gegabah menetapkan kerugian Negara sebagai korupsi. Jika memiliki indikasi kuat terhadap tindak pidana korupsi, tentu bisa masuk. Jika penyelewengan dana di BUMN, management bisa dituntut penggelapan. Larinya pidana umum," papar Gede.
Bersambung ke halaman selanjutnya.