Pakistan sangat membutuhkan bantuan setelah mengalami banjir terburuk dalam beberapa tahun terakhir. Bencana di Negara Asia Selatan itu semakin mempengaruhi situasi ekonominya yang sebelumnya sudah goyah.
"Bencana iklim ini datang pada waktu yang buruk, ketika ekonomi Pakistan sudah berjuang dengan krisis neraca pembayaran, meningkatnya utang dan inflasi yang melonjak," kata Mantan Duta Besar Pakistan untuk PBB dan Inggris, Maleeha Lodhi dikutip dari BBC, Selasa (20/9/2022).
Hujan luar biasa yang mengguyur Pakistan terkait perubahan iklim telah menenggelamkan sebagian besar negara itu. Tercatat sudah hampir 1.500 orang tewas dan mempengaruhi sekitar 33 juta orang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika negara itu tidak segera mendapatkan keringanan utang, kata Lodhi, ekonomi Pakistan berisiko 'tergelincir'. Rumah, jalan, rel kereta api, tanaman pangan, ternak, hingga mata pencaharian warga telah hanyut terbawa hujan ekstrim.
Dengan pertanian yang menyumbang hampir seperempat dari ekonomi Pakistan, para pejabat mengatakan banjir yang belum pernah terjadi sebelumnya ini kemungkinan menelan biaya hingga US$ 40 miliar atau setara Rp 598,4 triliun (kurs Rp 14.960).
Sekitar 800.000 ternak sebagai sumber pendapatan utama bagi keluarga pedesaan telah hilang akibat banjir. Para petani yang belum panen kini dilaporkan kehabisan pakan untuk ternak mereka.
"Kemungkinan akan ada lebih banyak rasa sakit di depan dengan krisis pangan yang membayangi," ujar Lodhi.
Menteri Perubahan Iklim Pakistan, Sherry Rehman mengungkapkan sekitar 70% dari panen bawang merah, beras dan jagung telah hancur. Padahal negara itu merupakan eksportir beras terbesar keempat di dunia, dengan pasar di Afrika dan China.
Gandum yang menjadi konsumsi bagi hampir semua rumah tangga Pakistan juga terancam gagal panen akibat banyak lahan pertanian rusak. Hal ini menambah tekanan harga pangan setelah gangguan rantai pasok pasca-pandemi dan perang di Ukraina.
Baca juga: Daftar 4 Negara yang Cetak Uang di Indonesia |
Menurut laporan, tingkat inflasi Pakistan lebih dari 24% sebelum banjir melanda dan beberapa biaya telah naik sebesar 500%. Pihak berwenang perlu mengimpor makanan untuk memberi makan orang dan bahan baku industri, tetapi cadangan devisa negara itu hampir habis.
Di sisi lain, Menteri Keuangan Pakistan Miftah Ismail menegaskan negara itu sama sekali tidak gagal membayar utangnya meskipun banjir. Sumber pembiayaan eksternal disebut telah diamankan lebih dari US$ 4 miliar dari Bank Pembangunan Asia, Bank Investasi Infrastruktur Asia dan Bank Dunia.
"Sekitar US$ 5 miliar investasi dari Qatar, Uni Emirat Arab dan Arab Saudi akan dilakukan pada tahun keuangan saat ini," tambahnya.
(aid/das)