Pengusaha dan pegiat lingkungan menyoroti polah lobi industri air minum dalam kemasan dalam menyikapi rencana BPOM untuk revisi aturan soal label pangan olahan. Mereka menilai beberapa pihak secara terang melakukan penggalangan opini menyesatkan, sarat konflik kepentingan.
Ketua Asosiasi Pengusaha Sampah Indonesia (APSI) dan Anggota Dewan Pengarah dan Pertimbangan Persampahan Nasional Saut Marpaung menilai lobi industri itu gencar menyampaikan kesan palsu, mengalihkan atau memberikan informasi yang menyesatkan tentang bagaimana produk market leader yang diklaim lebih ramah lingkungan di lapangan.
"Fakta di lapangan, market leader ini penuh dengan problem sampah dan lingkungan. Dan fakta-fakta timbunan sampah plastik mereka, dialihkan kepada pesaing. Sikap dan opini greenwashing itu yang mereka gencarkan, terutama kini dalam merespons BPOM," ujar Saut dalam keterangan tertulis, Rabu (21/9/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saut menuturkan penyesatan opini yang hanya menargetkan pesaing utama mereka sekarang ini yaitu galon sekali pakai sebagai potensi yang menambah persoalan sampah sebagai hal yang aneh dan primitif.
"Penyesatan opini yang hanya menargetkan pesaing utama mereka sekarang ini, galon sekali pakai sebagai berpotensi menambah persoalan sampah, itu aneh, primitif. Tak bisa ditutupi adanya konflik kepentingan kalau bicara persoalan sampah plastik," kata Saut.
Saut mengatakan penggiringan opini oleh lobi industri dapat merugikan seluruh pihak yang terlibat dalam rantai daur ulang sampah plastik. APSI pun yang berpartisipasi dalam menjaga lingkungan dengan mendaur ulang sampah plastik juga merasa dirugikan.
"APSI yang ikut berpartisipasi menjaga lingkungan dengan cara daur ulang sampah plastik pasti dirugikan dengan pembelokan fakta ini. Jangan sampai karena kepentingan persaingan usaha, terus mengeluarkan pendapat yang menyesatkan masyarakat," ungkapnya.
Ia pun menuturkan dalam operasional sehari-hari, APSI menemukan sampah kemasan kecil tidak punya nilai bagi industri daur ulang. Karena itu kemasan kecil itulah yang menjadi persoalan sampah sesungguhnya, karena ada potensi tercecer, sulit dipungut, dan menambah timbunan sampah.
"Makanya kemasan kecil inilah yang menjadi persoalan sampah sesungguhnya, berpotensi tercecer, sulit dipungut dan menambah timbunan sampah. Tak sesuai dengan Permen KLHK no 75 tahun 2019, mengenai peta pengurangan sampah dan usaha phasing out kemasan di bawah 1 liter," kata Saut.
Sementara itu, pemerhati ekonomi sirkular dari Nusantara Circular Economy & Sustainability Initiatives (NCESI), Yusra Abdi menuturkan kritik terhadap rencana regulasi BPOM sebagai salah kaprah dan hanya mebebek penolakan dari pihak industri.
Yusra mengatakan, sejak semula lobi industri sudah melontarkan banyak alasan untuk menghambat regulasi BPOM.
"Salah satunya adalah dengan menyebut aturan pelabelan risiko polikarbonat bakal menambah jumlah sampah plastik, karena publik bakal terdorong untuk meninggalkan galon isi ulang dan beralih ke galon sekali pakai yang bebas BPA. Itu lebay," kata Yusra.
(fhs/hns)