Sebelum memutuskan menjadi petani sawit, Wiradi mengaku sering berdagang kerajinan bidai yang dianyam oleh istrinya ke Pasar Serikin di Sarawak, Malaysia. Namun sejak pos lintas batas ditutup akibat COVID-19, warga Dusun Risau, Jagoi Babang, Bengkayang, Kalimantan Barat itu tak melanjutkannya.
Alasan lainnya karena ia mulai sering sakit-sakitan. Sejak saat itu, ia pun memutuskan untuk mengelola lahan sawit milik ayahnya. Pekerjaan yang kemudian ia lakoni sampai saat ini, bahkan bisa menambah lahan sawit baru.
Sebelum harganya anjlok, ia biasanya bisa memanen hingga 2 ton lebih dari lahan tersebut dan mendapatkan omzet Rp 6-7 juta. Namun, kini ia hanya mendapatkan harga setengahnya dan mengaku tak cukup untuk menutupi ongkos pupuk hingga perawatannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau bagi saya sangat berpengaruh, karena kita ini kan petani kecil, untuk mencukupi kebutuhan ini itu nggak bisa juga. Sudah pupuk kita susah, panen orang pun susah. Kalau pupuk mana bisa turun, ini aja kita belum mupuk nih. Karena pupuk sekarang susah," ujarnya kepada detikcom belum lama ini.
"Harapannya, kalau bisa harga sawit ini dinaikkin, walaupun kebun saya ini ibaratnya sedikit, tapi kalau harganya lumayan naik, lumayan bisa menjamin. Sebelum sawit ini turun harga, saya bisa terima (omzet) Rp 6-7 juta per bulan. Kalau sudah anjlok, memang Rp 3 juta, itu pun paling besar, kadang-kadang 2 juta lebih," imbuhnya.
Ia menjelaskan pohon sawit biasanya produktif dipanen pada usia 8-10 tahun. Adapun sebelum berumur 5 tahun, buah sawit biasanya kecil dan jarang ada yang mau beli. Adapun perawatannya dengan cara dipupuk, dibersihkan, diracun sekelilingnya, untuk menebas lahannya, hingga menanti untuk dipanen.
![]() |
"Kalau semai bibit itu minimal satu tahun setengah baru bisa tanam, setelah itu perawatan tergantung kita. Kalau kita ada modal kita suruh orang kerja, kalau itu nggak nentu lah seumpama lahan udah alit, 2-3 bulan sudah alit, kita suruh orang tebas," ujarnya.
"Kalau belum sampai 5 tahun buahnya kecil, orang sini bilang buah pasir, kadang-kadang ngga ada harga. Kalau ada orang beli grade a Rp 1.000 lah, buah pasir ini Rp 400, itu pun kalau ada yang beli," imbuhnya.
Awalnya ia hanya mengurus sawit di lahan 1,6 hektare milik orang tuanya. Kemudian pada tahun 2020 ia mengajukan Kredit Usaha Rakyat (KUR) Bank BRI untuk mengembangkan sawit di lahan barunya seluas 2,4 hektare. Ia mengaku sudah mengambil dua kali KUR Bank BRI, pertama sebanyak Rp 25 juta dan kedua Rp 75 juta.
"Saya mengembangkan usaha, mengajukan KUR pinjaman BRI. Dengan adanya KUR ini bersyukur juga lah bisa mengembangkan usaha, walaupun tidak seperti orang lain, tapi bisa beruntung juga," ujarnya.
"KUR (pertama) untuk pembukaan lahan dan beli bibit, yang kedua untuk biaya perawatan sawit, terutama yang ini, sama membeli bibit baru, sama buka tempat usaha di rumah itu," imbuhnya.
Ia pun mengaku bersyukur karena sebelum mendapat KUR Bank BRI, ia merasa memiliki banyak kekurangan dalam mengembangkan usahanya. Ia berharap kelak ketika akan mengajukan KUR kembali, Bank BRI mempermudah prosesnya.
"Sebelum di (dapat) KUR banyak kekurangan lah, karena faktor modal tidak ada karena usaha ini kan semuanya butuh modal. Jadi setelah itu saya ajukan KUR, saya pun bersyukur juga karena ada pihak bank yang masih mempercayai kita, kaya bank waktu itu lolos, diberikan modal, baru saya beli lahan, tanam," pungkasnya.
detikcom bersama BRI mengadakan program Tapal Batas yang mengulas perkembangan ekonomi, infrastruktur, hingga wisata di beberapa wilayah terdepan Indonesia. Untuk mengetahui informasi dari program ini ikuti terus berita tentang Tapal Batas di tapalbatas.detik.com!
(ncm/ega)