Data pertumbuhan ekonomi China pada kuartal III yang bakal dirilis pekan depan diperkirakan menyita perhatian dunia. Jika ekonomi negeri tirai bambu ini terkontraksi maka akan meningkatkan kemungkinan resesi global.
Dikutip dari BBC, Rabu (5/10/2022), China memang sedang tidak menghadapi masalah inflasi yang tinggi seperti Amerika Serikat (AS) dan Inggris. Namun, China menghadapi masalah sedikitnya permintaan untuk produknya, baik di dalam negeri maupun internasional. Kemudian, ketegangan hubungan dagang China dan negara ekonomi utama seperti AS juga menghambat pertumbuhan.
Kemudian, mata uangnya yuan anjlok terhadap dolar AS. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi investor dan memicu ketidakpastian pasar keuangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejumlah hal disebut-sebut sebagai penyebab permasalahan ekonomi China, salah satunya kebijakan zero COVID-19. COVID-19 telah melanda beberapa kota di China termasuk pusat manufaktur seperti Shenzhen dan Tianjin yang mengganggu aktivitas ekonomi di berbagai industri. Hal itu membuat masyarakat tidak bisa membelanjakan uangnya seperti makanan dan minuman, ritel hingga wisata.
Di sisi manufaktur, Biro Statistik Nasional mencatat aktivitas pabrik naik kembali pada September setelah dua bulan ketika manufaktur tidak berkembang. Meski demikian, hal itu menimbulkan pertanyaan karena survei swasta menunjukkan aktivitas pabrik sebenarnya turun pada bulan September.
Para ahli sepakat, China dapat berbuat lebih banyak untuk merangsang ekonomi. Namun, hanya sedikit alasan untuk melakukannya sampai zero COVID-19 berakhir.
"Tidak ada gunanya memompa uang ke dalam ekonomi kita jika bisnis tidak dapat berkembang atau orang tidak dapat membelanjakan uangnya," kata Louis Kuijs, kepala ekonom Asia di S&P Global Ratings.
Penyebab lain ialah langkah China dianggap tak cukup. China pada Agustus lalu telah mengumumkan rencana 1 triliun yuan untuk mendorong usaha kecil, infrastruktur dan real estat.
Masih ada asa agar ekonomi China bangkit. Cek halaman berikutnya.