Kerajinan asli Indonesia, batik telah diakui sebagai salah satu warisan budaya dunia oleh UNESCO sejak 2 Oktober 2009. Kini, tanggal tersebut dirayakan sebagai Hari Batik Nasional setiap tahunnya.
Persoalan kain 'batik impor' atau kain bermotif 'batik' yang banjir di pasaran sempat menjadi sorotan pada 2019 silam. Lalu bagaimana kondisinya saat ini?
Berdasarkan pantauan detikcom, Jumat (30/09/2022), keberadaan batik lokal jauh lebih banyak dibandingkan dengan batik impor. Bahkan, batik impor kini sangat sulit ditemui.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti halnya di Thamrin City, Jakarta Pusat. Tidak ditemukan keberadaan 'batik impor'. Mayoritas pedagang di sana menjual batik asal perajin Pekalongan dan Solo. "Kalau di mal ini banyaknya dari Pekalongan," ujar Edi, salah satu pedagang batik kepada detikcom.
Edi mengatakan, dirinya belum pernah melihat keberadaan batik impor di pusat perbelanjaan itu. Kebanyakan pedagang, mengambil suplai kain batik dari para perajin lokal. Dari sana barulah mereka memproduksi baju sendiri. "Saya juga baru dengar ada batik dari luar negeri. Setahu saya sih batik kan produk asli Indonesia, nggak ada yang buat di luar," katanya.
Pedagang Mengaku Ada Batik Impor
Pemandangan sedikit berbeda terlihat di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Di Blok A, detikcom menemukan ada dua pedagang yang mengaku menjual batik impor asal China. "Ini bahannya micro. Kalau kita di sini nyebutnya batik murah meriah," ujar salah satu pedagang.
Harga yang dipatoknya pun sangat murah, yakni Rp 35 ribu untuk eceran dan Rp 30 ribu untuk harga grosirnya. Meski harganya murah, pria itu mengatakan, para pelanggannya jauh lebih menyukai batik lokal karena dari kualitas bahan jauh berbeda dari yang berbahan mikro itu.
"Jelas yang lokal (lebih laku). Yang China ini bahannya panas, gerah. Yang Pekalongan ini lebih halus," jelasnya.
Sedikit berbeda, pedagang lain justru menjual produk batik impor dengan harga lebih mahal, yakni di kisaran Rp 140-160 ribu. Wanita ini menyebut, kualitas bahannya jauh lebih bagus dari versi lokal.
"Ini bisa dibandingkan sendiri bahannya. Lebih adem dan halus, makanya lebih mahal. Kalau yang lokal katun biasa," katanya.
Dan terbukti, ketika disentuh, kain baju batik tersebut berbeda dengan kain di toko sebelumnya, yang harganya jauh lebih murah. Wanita tersebut mengaku, kain itu diimpor dari luar negeri dalam bentuk sudah bercorak batik. Barulah setelah itu, kain diproduksi olehnya menjadi kemeja
"Lupa (negaranya). Tapi ada yang China, cuman lagi nggak ada. Ada tulisannya bisanya, Made in China. Di atas Rp 100 ribu-an juga harganya,"tambahnya.
Meski kedua pedagang tersebut sama-sama menyediakan produk impor, mayoritas produk batik yang mereka jual berasal dari para pengrajin lokal.
RI sempat kebanjiran batik impor China. Cek halaman berikutnya.