Batik Impor China Sempat Bikin Heboh, Sekarang Masih Ada Nggak Sih?

Batik Impor China Sempat Bikin Heboh, Sekarang Masih Ada Nggak Sih?

Shafira Cendra Arini - detikFinance
Jumat, 30 Sep 2022 15:58 WIB
Batik Impor China Sempat Bikin Heboh, Sekarang Masih β€˜Gentayangan’ Nggak Sih?
Batik Impor China (kiri), Batik Lokal (kanan)/Foto: Shafira Cendra Arini/detikcom
Jakarta -

Kerajinan asli Indonesia, batik telah diakui sebagai salah satu warisan budaya dunia oleh UNESCO sejak 2 Oktober 2009. Kini, tanggal tersebut dirayakan sebagai Hari Batik Nasional setiap tahunnya.

Persoalan kain 'batik impor' atau kain bermotif 'batik' yang banjir di pasaran sempat menjadi sorotan pada 2019 silam. Lalu bagaimana kondisinya saat ini?

Berdasarkan pantauan detikcom, Jumat (30/09/2022), keberadaan batik lokal jauh lebih banyak dibandingkan dengan batik impor. Bahkan, batik impor kini sangat sulit ditemui.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Seperti halnya di Thamrin City, Jakarta Pusat. Tidak ditemukan keberadaan 'batik impor'. Mayoritas pedagang di sana menjual batik asal perajin Pekalongan dan Solo. "Kalau di mal ini banyaknya dari Pekalongan," ujar Edi, salah satu pedagang batik kepada detikcom.

Edi mengatakan, dirinya belum pernah melihat keberadaan batik impor di pusat perbelanjaan itu. Kebanyakan pedagang, mengambil suplai kain batik dari para perajin lokal. Dari sana barulah mereka memproduksi baju sendiri. "Saya juga baru dengar ada batik dari luar negeri. Setahu saya sih batik kan produk asli Indonesia, nggak ada yang buat di luar," katanya.

ADVERTISEMENT

Pedagang Mengaku Ada Batik Impor

Pemandangan sedikit berbeda terlihat di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Di Blok A, detikcom menemukan ada dua pedagang yang mengaku menjual batik impor asal China. "Ini bahannya micro. Kalau kita di sini nyebutnya batik murah meriah," ujar salah satu pedagang.

Harga yang dipatoknya pun sangat murah, yakni Rp 35 ribu untuk eceran dan Rp 30 ribu untuk harga grosirnya. Meski harganya murah, pria itu mengatakan, para pelanggannya jauh lebih menyukai batik lokal karena dari kualitas bahan jauh berbeda dari yang berbahan mikro itu.

"Jelas yang lokal (lebih laku). Yang China ini bahannya panas, gerah. Yang Pekalongan ini lebih halus," jelasnya.

Sedikit berbeda, pedagang lain justru menjual produk batik impor dengan harga lebih mahal, yakni di kisaran Rp 140-160 ribu. Wanita ini menyebut, kualitas bahannya jauh lebih bagus dari versi lokal.

"Ini bisa dibandingkan sendiri bahannya. Lebih adem dan halus, makanya lebih mahal. Kalau yang lokal katun biasa," katanya.

Dan terbukti, ketika disentuh, kain baju batik tersebut berbeda dengan kain di toko sebelumnya, yang harganya jauh lebih murah. Wanita tersebut mengaku, kain itu diimpor dari luar negeri dalam bentuk sudah bercorak batik. Barulah setelah itu, kain diproduksi olehnya menjadi kemeja

"Lupa (negaranya). Tapi ada yang China, cuman lagi nggak ada. Ada tulisannya bisanya, Made in China. Di atas Rp 100 ribu-an juga harganya,"tambahnya.

Meski kedua pedagang tersebut sama-sama menyediakan produk impor, mayoritas produk batik yang mereka jual berasal dari para pengrajin lokal.

RI sempat kebanjiran batik impor China. Cek halaman berikutnya.

Kondisi ini jauh berbeda kala 2013 silam. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip detikcom pada Januari 2013, sebanyak 56,3 ton batik China atau senilai US$ 1,4 juta hadir di dalam negeri. Batik yang diimpor masih seputar bahan-bahan yang belum diproses menjadi baju atau yang lainnya.

Dari pantauan detikcom pada tahun yang sama, Mal Thamrin City dipenuhi batik impor asal China. Bahkan, seorang pedagang batik menyebutkan, jika harga batik China jauh lebih murah bila dibandingkan dengan batik produksi lokal Pekalongan. Menurutnya selisih harga bisa mencapai Rp 20-30 ribu/helai.

"Sebagai contoh bahan katun model standar. Batik Pekalongan itu harganya Rp 100 ribu/helai, beda sama China cuma Rp 70 ribu. Kalau dipegang juga lebih halus dari China," kata pemilik toko, Ixon.

"Batik China yang jual di Thamrin City sudah mulai banyak. Bahan silk juga sama, ada perbedaan antara Rp 25-30 ribu/helai. Bahan silk ini agak panas jadi orang lebih suka dengan bahan katun," jelas Ixon pada waktu itu.

Namun pada 2019 silam, keberadaan 'batik impor' itu di pasaran berangsur-angsur berkurang. Ketua Umum Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI) Komarudin Kudiya mengatakan, pemerintah sudah memperketat pengawasan impor tekstil dan produk tekstil (TPT) bermotif menyerupai batik.

Kendati demikian, ada saja akal dari para importir gelap misalnya dengan mencampur dengan barang-barang lain yang memang boleh diimpor. Karena itulah, kain 'batik' impor masih beredar di pasaran.

"Indonesia juga melarang (impor batik) tapi yang tadi itu importir-importir yang gelap itu bisa saja masukkan produk-produknya," ujar Komarudin kepada detikcom, 2019 silam.

Di sisi lain, pedagang-pedagang di pasar umumnya tidak tahu kalau batik yang mereka jual adalah impor. Pasalnya yang diimpor ini adalah dalam bentuk kain yang kemudian dijahitnya di Indonesia. Setelah jadi baru dijual ke pasaran.

Dia menyebut, konveksi-konveksi kain batik impor ini tersebar di sejumlah daerah, mulai dari Pekalongan, Pemalang, hingga Majalaya di Bandung. Kain batik yang telah diimpor dari China hingga India itu dijahit di konveksi-konveksi berbiaya murah. Umumnya jasa untuk membuat satu pakaian dari kain batik impor itu berkisar Rp 5.000-Rp 10.000.

"Jadi impornya material gulungan, nggak (produk) jadi. Jadi berupa kayak tekstil gitu, kain gulungan, nanti dijahitnya ke konveksi-konveksi yang murahan, yang satu potong (pakaian) Rp 5 ribu sampai Rp 10 ribu ongkos jahitnya," tambah Komarudin.


Hide Ads