Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) meminta pemerintah mempertimbangkan kembali pengaturan pembatasan komisi sektor ride hailing atau ojek online (ojol) yang diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. KP 667 Tahun 2022.
Hal ini bertujuan untuk memastikan industri digital dapat berkembang secara kondusif, memberikan kepastian investasi, dan juga meningkatkan daya saing industri digital sektor ride hailing di Indonesia.
Kajian resmi INDEF ini terungkap dalam policy brief bertajuk "Dampak Penetapan Batas Atas Biaya Komisi pada Industri Digital di Indonesia" yang dirilis pada 5 November 2022.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kajian ini menyoroti perkembangan ekonomi digital di Indonesia di tengah berbagai dinamika ekonomi dan geopolitik global, termasuk kondisi tech winter, yang sedang menerpa perusahaan teknologi di Indonesia.
Kondisi ekonomi yang penuh dengan ketidakpastian serta suku bunga yang tinggi dinilai meningkatkan risiko bagi investor untuk melakukan atau melanjutkan pendanaan pada perusahaan rintisan atau startup. Di sisi lain, walau sedang mengalami tech winter, perusahaan teknologi di Indonesia justru turut membantu perkembangan ekosistem digital di Indonesia dengan nilai ekonomi digital Indonesia pada tahun 2022 tercatat sekitar USD 77 miliar atau setara dengan Rp 1.208 triliun (asumsi kurs Rp 15.700/US$)
Dalam kajiannya, INDEF meminta pemerintah memiliki pemahaman yang utuh dan menyeluruh dalam penyusunan regulasi terkait ekonomi digital. Pemahaman yang utuh ini diperlukan agar setiap regulasi yang dibuat dapat memberi ruang lebih luas bagi inovasi, dan bukannya malah membatasi. Regulasi yang terfragmentasi karena adanya tumpang tindih kewenangan dikhawatirkan justru akan membuat daya saing ekosistem ekonomi digital Indonesia semakin tertinggal.
Terkait hal tersebut, INDEF merekomendasikan pemerintah untuk segera mengembangkan peta jalan pengembangan ekonomi digital secara komprehensif. Peta jalan ini penting untuk bisa mengidentifikasi area-area pertumbuhan yang dapat semakin diakselerasi lewat kebijakan-kebijakan pemerintah.
Karenanya, peta jalan ini perlu untuk disusun dengan prinsip light-touch regulation atau meminimalisir regulasi yang dapat membatasi ruang-ruang inovasi.
Selain itu, INDEF juga menyarankan pemerintah untuk memperkuat koordinasi di antara kementerian dan lembaga pemerintah untuk menghindari tumpang tindih kebijakan yang hanya akan membuat kebingungan bagi para pemain di industri digital.
Salah satu contoh yang disoroti oleh INDEF dalam policy brief-nya adalah kebijakan Kementerian Perhubungan terkait pembatasan biaya komisi pada sektor ride-hailing.
Menurut Direktur Riset INDEF, Berly Martawardaya, besarnya peranan biaya komisi terhadap keberlangsungan perusahaan digital dengan two-sided market membuat pembatasan biaya komisi berisiko menghambat perkembangan industri ride-hailing di Indonesia. Kebijakan ini berdampak pada penurunan sumber pendapatan dan membuat periode menuju break even point (BEP) semakin lama, khususnya setelah melewati periode penetrasi pasar.
"Dalam jangka panjang, pengaturan biaya komisi akan menjadi disinsentif bagi startup lokal untuk berkembang, mengurangi appetite investasi digital luar negeri ke Indonesia, dan menghambat transformasi digital Indonesia," kata Berly dalam keterangan resmi, dikutip Selasa (8/11/2022).
Karena itu, menurut Berly, sebagai langkah awal untuk memitigasi risiko tersebut, pemerintah diminta untuk meninjau kembali pembatasan biaya komisi pada semua sektor di dalam ekonomi digital, termasuk dalam layanan ride-hailing, demi memastikan industri digital dapat berkembang secara kondusif.
(ncm/ega)